Kamis, 19 Desember 2013

Dialog Abdullah bin Abbas dengan Khawarij



Di antara sekte atau aliran yang menyimpang yang pertama kali muncul dalam Islam adalah pemikiran Khawarij, sebuah sekte yang berbicara tentang status keislaman seseorang, apakah seseorang tersebut telah keluar dari Islam (kafir), atau masih berada dalam lingkaran keislaman. Pemikiran ini pertama kali muncul di zaman kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan sekarang pemikiran ini kembali menyerebak di tengah-tengah umat Islam yang popular dengan istilah terorisme. Banyak orang-orang yang sibuk membicarakan status keislaman orang lain, terutama status keislaman para pemimpin yang berhukum dengan undang-undang buatan manusia.
Mereka adalah sebagian pemuda yang memiliki semangat keislaman, namun mereka tergesa-gesa menghukumi tanpa melakukan pengkajian yang mendalam. Pemikiran ekstrim ini direspon dengan berbagai tindakan, dan salah satu tindakan yang dilakukan untuk memerangi pemikiran teroris ini adalah dengan cara berdialog. Cara ini termasuk cara yang paling efektif untuk memeranginya, karena sebuah pemikiran idealnya dihadapi juga dengan pemikiran.
Berikut ini, kami cuplikkan sebuah kisah tentang ketergesa-gesaan orang-orang Khawarij dalam memvonis hukum kafir dan kedangakalan mereka dalam memahami ayat-ayat Alquran, mudah-mudahan para pemuda yang memiliki semangat dalam berislam bisa mengambil pelajaran dari kisah ini dan terhindar dari pemikiran terorisme yang bermudah-mudahan dalam memvonis kafir seseorang.
Ali bin Abi Thalib mengirim Abdullah bin Abbas kepada orang-orang Khawarij untuk berdialog bersama mereka. Kisah dialog Ibnu Abbas ini dicatat oleh Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya Talbis Iblis sebagai berikut:
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Orang-orang Khawarij memisahkan diri dari Ali radhiallahu ‘anhu, berkumpul di satu daerah untuk memberontak kepada khalifah. Ketika itu, jumlah mereka enam ribu orang.
Semenjak Khawarij berkumpul, setiap orang yang mengunjungi Ali radhiallahu ‘anhu berkata –mengingatkannya–, “Wahai Amirul Mukminin, orang-orang Khawarij telah berkumpul untuk memerangimu.”
Ali menjawab, “Biarkan saja, aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka memerangiku, dan pasti mereka akan melakukannya.”
Hingga di suatu hari yang terik, saat masuk waktu zuhur aku menjumpai Aliradhiallahu ‘anhu. Aku (Ibnu Abbas) berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tunggulah cuaca dingin untuk shalat zuhur, sepertinya aku akan mendatangi mereka (Khawarij) berdialog.”
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Wahai Ibnu Abbas, sungguh aku mengkhawatirkanmu!”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah kau khawatirkan diriku. Aku bukanlah orang yang berakhlak buruk dan aku tidak pernah menyakiti seorang pun.” Maka Ali pun mengizinkanku.
“Jubah terbaik dari Yaman segera kupakai, kurapikan rambutku, dan kulangkahkan kaki ini hingga masuk di barisan mereka di tengah siang.”
Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma berkata, “Aku benar-benar berada di tengah suatu kaum yang belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat beribadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta (kapalan). Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”
Kuucapkan salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku, “Selamat datang, wahai Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Apa gerangan yang membawamu kemari?”
Aku berkata, “Aku datang pada kalian sebagai perwakilan dari sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, dan juga dari sisi menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (yakni Ali bin Abi Thalib), kepada para sahabat-lah Alquran diturunkan dan merekalah orang-orang yang paling mengerti makna Alquran daripada kalian.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengingatkan tentang kedudukan sahabat Muhajirin dan Anshar dan bagaimana seharusnya prinsip seorang muslim dalam memahami Alquran dan sunnah yaitu mengembalikan kepada pemahaman sahabat yang kepada merekalah Alquran diturunkan, dan merekalah orang yang paling mengerti Alquran dan sunnah. Ibnu Abbas juga menegaskan besarnya kedudukan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di sisi Allah, yaitu menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu mendengar ucapan Ibnu Abbas yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup –yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat mereka–,sebagian Khawarij memberi peringatan, “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, pen.). Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58)
Ibnul Jauzi  kembali melanjutkan kisah ini: Dua atau tiga orang dari mereka berkata, “Biarlah kami yang akan mendebatnya!”.
Ibnu Abbas berkata, “Wahai kaum, beri aku alasan, mengapa kalian membenci menantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabat Muhajirin dan Anshar, padahal Alquran diturunkan kepada mereka, dan tidak ada seorang sahabat pun yang bersama kalian. Ali adalah orang yang paling mengerti tentang penafsiran Alquran.”
Mereka berkata, “Kami punya tiga alasan.”
Ibnu Abbas mengatakan, “Sebutkan (tiga alasan kalian).”
“Pertama, sungguh Ali telah menjadikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah, padahal Allah  berfirman,
“…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah  …” (Yusuf: 40)
Hukum manusia tidak ada artinya di hadapan firman Allah Ta’ala. Kata mereka.
Ibnu Abbas menanggapi, “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”
Mereka melanjutkan, “Kedua, sesungguhnya Ali telah berperang dan membunuh, tapi mengapa tidak mau menawan dan mengambil ghanimah? Kalau mereka (orang-orang yang berperang melawan Ali) itu mukmin tentu tidak halal bagi kita memerangi dan membunuh mereka. Tidak halal pula tawanan-tawanannya.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bertanya lagi, “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”
Kata mereka, “Ketiga, dia telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya. Kalau dia bukan amirul mukminin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirul kafirin (pemimpin orang-orang kafir).”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ada alasan selain ini?” Mereka berkata, “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”
Bantahan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma atas dangkalnya pemahaman Khawarij
Lihatlah, bagaimana Khawarij mudah memvonis kafir, dan memberontak sekalipun kepada khalifah ar-Rasyid yang penuh keutamaan dan kemuliaan. Alasan-alasan mereka adalah kerancuan yang sangat lemah dan menunjukkan kedangkalan mereka dalam memahami Alquran dan sunnah.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mulai menanggapi, “Ucapan kalian bahwa Aliradhiallahu ‘anhu telah menjadikan manusia untuk memutuskan perkara (untuk mendamaikan persengketaan antara kaum muslimin -pen), sebagai jawabannya akan kubacakan ayat yang membatalkan kerancuan kalian. Jika ucapan kalian terbantah, maukah kalian kembali (kepada jalan yang benar)?”
Mereka menjawab, “Ya, tentu kami akan kembali.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya AllahSubhanahu wa Ta’ala telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram) Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. Al-Maidah: 95)
Demikian pula dalam perkara perempuan dan suaminya yang bersengketa, AllahSubhanahu wa Ta’ala  juga menyerahkan hukumnya kepada hukum (keputusan) manusia untuk mendamaikan antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (QS. An-Nisa: 35)
Demi Allah, jawablah, apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara mereka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”
Mereka katakana, “Inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari pertumpahan darah) yang lebih pantas.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah pertama?” Mereka berkata, “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali radhiallahu ‘anhu telah berperang tapi tidak mau mengambil ghanimah dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka sebagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni Aisyah).
Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa Aisyah bukan ibu kita, kalian telah keluar dari Islam (karena mengingkari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala). Demikian pula kalau kalian menjadikan Aisyah sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalian pun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (QS. Al-Ahzab: 6)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apakah kalian telah memahami masalah ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata lagi, “Adapun ucapan kalian bahwasanya Ali telah menghapus sebutan Amirul Mukminin dari dirinya, maka (sebagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (6 H) melakukan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin Amr. Tahukah kalian apa yang terjadi?
Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ali, “Wahai Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.” Ali menulis, “Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…”
Orang-orang musyrik berkata, “Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai utusan Allah  tentu kami tidak akan memerangimu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah , sungguh engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai Ali, tulislah ‘Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdilah…’.” (Rasulullah memerintahkan Ali untukmenghapus sebutan Rasulullah dalam perjanjian, pen.)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Demi Allah, sungguh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia dari Ali, meskipun demikian beliau menghapuskan sebutan rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah…” (Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata rasulullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana kalian ingkari keislaman Ali karena menghapus sebutan Amirul Mukminin?)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Maka kembalilah dua ribu orang dari mereka, sementara lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni perang Nahrawan).”
Demikian tiga kerancuan pola pikir Khawarij yang mereka jadikan sebagai alasan memberontak dan memerangi Ali radhiallahu ‘anhu. Semua kerancuan tersebut terbantah dalam dialog mereka dengan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Maka selamatlah mereka yang mau mendengar sahabat dan menjadikan mereka sebagai rujukan dalam memahami Alquran dan sunnah.
Kemudian dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam Ibnu Katsir melanjutkan kisah ini.
Abdullah bin Abbas membawa mereka ke hadapan Ali bin Abi Thalib di Kufah.
Setelah itu, Ali mengirim utusan kepada orang-orang Khawarij yang tersisa, ia berkata, “Sesungguhnya kalian telah menyaksikan apa yang telah dialami olehku dan orang-orang secara umum. Berbuatlah semau kalian hingga umat Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam bersatu. Di antara kita ada sebuah perjanjian, tidak boleh menumpahkan darah yang haram dibunuh, tidak boleh menyabotase jalan dan tidak boleh menzalimi ahli zhimmah. Jika kalian melanggarnya, maka kami akan membalasnya dengan pembalasan yang setimpal. Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. Al-Anfal: 58)
Tidak lama setelah itu, mereka menyabotase jalan, membunuh orang-orang yang tak bersalah, menghalalkan darah ahli zhimmah hingga mereka dikalahkan dalam Perang Nahrawan. Setelah itu mereka membalas dendam dan yang mengakibatkan tewasnya Khalifah ar-Rasyid Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Artikel www.KisahMuslim.com
baca selanjutnya »»  

Minggu, 08 Desember 2013

(LENGKAP) KISAH YA’JUJ WA MA’JUJ & TEMBOK BENTENG DZULQORNAIN

Apakah mereka sudah ada sekarang? Dimanakah Lokasi Ya’juj & Ma’juz apakah di Rusia-Soviet/China? | Benarkah mereka adalah bangsa Mongol (Tartar)? | Sifat-sifat dan Ciri “Bangsa Ya’juj Wa Ma’juj” : Mereka adalah manusia keturunan Adam, jumlahnya sangat besar, perusak, tidak pandai berbicara dan tidak fasih, bermata kecil (sipit), berhidung kecil, lebar mukanya, merah warna kulitnya seakan-akan wajahnya seperti perisai

Mengenal Ya’juj dan Ma’juj

Kemunculan sebuah bangsa yang akan menciptakan kekacauan serta kerusakan di muka bumi telah ditakdirkan Allah subhanahuwata’ala sebagai salah satu penanda kiamat besar. Siapakah dan bagaimanakah mereka?
Di dalam beberapa hadits tentang tanda-tanda hari kiamat kubra, disebutkan ada sepuluh tanda hari kiamat. Di antaranya adalah keluarnya Ya`juj wa Ma`juj. Berita tentang keluarnya Ya`juj wa Ma`juj bukan hanya mutawatir, bahkan disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 96-97: Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah datangnya janji yang benar (hari berbangkit), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata): “Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang dzalim.” Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan: mereka adalah dari keturunan Adam ‘alaihissalam dari keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam, dari anak keturunan Yafits yakni nenek moyang bangsa Turki yang terisolir oleh benteng tinggi yang dibangun oleh Dzulqarnain.
Sedangkan makna “min kulli hadabin yansilun” diterangkan oleh Ibnu Katsir ahimahullahu: yakni turun dari tempat-tempat yang tinggi dengan cepat dengan membuat kerusakan.
Demikian pula disebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat 94: “Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj wa Ma`juj merusak di muka bumi, kami akan siapkan imbalan yang besar agar kiranya engkau membuatkan benteng antara kami dengan mereka.” Adapun kalimat yang menunjukkan bahwa runtuhnya benteng Dzulqarnain dan keluarnya Ya`juj wa Ma`juj sebagai tanda dekatnya hari kiamat adalah ucapan Allah subhanahuwata’ala pada ayat ke-98:
“Ini adalah rahmat dari Rabbku…..” Ibnu Katsir rahimaullahu menyatakan: “Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa mereka tidak akan bisa melubanginya sedikitpun…” Sedangkan makna “Jika datang janji Rabbku” adalah: Jika telah dekat hari kiamat, Allah subhanahuwata’ala akan runtuhkan benteng tersebut. Demikian dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu.

Ya`juj wa Ma`juj dari keturunan Adam ‘alaihissalam

Ya’juj wa Ma’juj adalah dari jenis manusia keturunan Adam q. Tidak seperti yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa mereka bukanlah dari keturunan manusia. Hanya saja mereka adalah orang-orang yang merusak serta memiliki sifat dan perangai yang Allah subhanahuwata’ala takdirkan kepada mereka tidak seperti manusia pada umumnya.
Dalil yang menunjukkan bahwa mereka dari jenis manusia keturunan Adam ‘alaihissalam adalah apa yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam Kitabul Anbiya’ bab Qishah Ya’juj wa Ma’juj, dari Abu Sa’id Al-Khudri
Radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi Sallallahu’alaihiwassallam bersabda:
ن أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِي اللَّهم عَنْهم عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى ا عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَقُولُ ا تَعَالَى يَا آدَمُ فَيَقُولُ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ فَيَقُولُ أَخْرِجْ بَعْثَ النَّارِ قَالَ وَمَا بَعْثُ النَّارِ قَالَ مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَ مِائَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ فَعِنْدَهُ يَشِيبُ الصَّغِيرُ ) وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ ا شَدِيدٌ ( قَالُوا يَا رَسُولَ ا وَأَيُّنَا ذَلِكَ الْوَاحِدُ قَالَ أَبْشِرُوا فَإِنَّ مِنْكُمْ رَجُلًا وَمِنْ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ أَلْفًا…
Allah subhanahuwata’ala berfirman kepada Adam: “Wahai Adam.” Maka Adam menjawab: “Labbaika wa sa’daika wal khairu fi yadaika (Aku sambut panggilan-Mu dengan senang hati dan kebaikan semuanya di tangan-Mu).” Kemudian Allah subhanahuwata’ala berfirman: “Keluarkan pasukan penghuni neraka.” Maka Adam bertanya: “Apa itu pasukan penghuni neraka?” Allah subhanahuwata’ala berfirman: “Mereka dari setiap seribu orang, sembilan ratus Sembilan puluh sembilan orang!” Maka ketika itu anak kecil menjadi beruban, setiap yang hamil melahirkan apa yang dikandungnya, dan kamu lihat orang-orang seakan-akan mabuk padahal mereka tidak mabuk, tetapi karena adzab Allah subhanahuwata’ala  yang sangat keras. Kemudian para sahabat bertanya: “Siapa yang satu itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Bergembiralah sesungguhnya penghuni neraka itu dari kalian satu dan dari Ya’juj wa Ma’juj seribu….” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, juz 6 hal.382)
Dari hadits di atas kita dapatkan beberapa faedah:
Pertama: Ya’juj wa Ma’juj adalah calon penghuni neraka.
Kedua: jumlah Ya’juj wa Ma’juj sangat besar.
Ketiga: bahwa Ya’juj wa Ma’juj dari jenis manusia keturunan Adam.

Sifat-sifat Ya’juj wa Ma’juj

Walaupun mereka dari jenis manusia keturunan Adam, namun mereka memiliki sifat khas yang berbeda dari manusia biasa. Ciri utama mereka adalah perusak dan jumlah mereka yang sangat besar sehingga ketika mereka turun dari gunung seakanakan air bah yang mengalir, tidak pandai berbicara dan tidak fasih, bermata kecil (sipit), berhidung kecil, lebar mukanya, merah warna kulitnya seakan-akan wajahnya seperti perisai dan lain-lain. Disebutkan dalam riwayat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dari Ibnu Harmalah, dari bibinya, dia berkata:
وَهُوَ عَاصِبٌ إِصْبَعَهُ مِنْ n خَطَبَ رَسُولُ ا لَدْغَةِ عَقْرَبٍ فَقَالَ: إِنَّكُمْ تَقُولُونَ لَا عَدُوَّ وَإِنَّكُمْ لَا تَزَالُونَ تُقَاتِلُونَ عَدُوًّا حَتَّى يَأْتِيَ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ عِرَاضُ الْوُجُوهِ صِغَارُ الْعُيُونِ شُهْبُ الشِّعَافِ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ
Rasulullah sallallahu’alaihi wassallam berkhutbah dalam keadaan jarinya tersengat kalajengking. Beliau bersabda: “Kalian mengatakan tidak ada musuh. Padahal sesungguhnya kalian akan terus memerangi musuh sampai datangnya Ya’juj wa Ma’juj, lebar mukanya, kecil (sipit) matanya, dan ada warna putih di rambut atas. Mereka mengalir dari tempat-tempat yang tinggi, seakan-akan wajah-wajah mereka seperti perisai.” (HR. Ahmad)

Ya`juj dan Ma`juj Sudah Ada Sekarang

Ya`juj dan Ma`juj sudah ada dan terus dalam keadaan turun-temurun (beranak pinak), tidak meninggal satu orang dari mereka, kecuali lahir seribu orang lebih. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdullah bin ‘Amr radhiallahuanhu yang diriwayatkan Al-Hakim rahimahullahu dalam Mustadrak-nya.
Namun alhamdulillah Allah subhanahuwata’ala telah bentengi mereka dari kita, yaitu dengan sebab menakdirkan munculnya Dzulqarnain yang dengan kemampuannya membuat benteng yang terbuat dari besi dan tembaga. Allah subhanahuwata’ala berfirman:  “Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan keduanya, suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata:
‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’ Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.’ Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Dzulqarnain berkata:
‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila sudah datang janji Rabb-ku Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu adalah benar’.” (Al-Kahfi:92-98)

Kesombongan Ya’juj dan Ma’juj

Ya`juj dan Ma`juj ketika keluar tidaklah melewati sesuatu kecuali dirusaknya. Tidaklah melewati danau kecuali meminumnya hingga habis. Tidaklah mendapati manusia kecuali dibunuhnya sampai ketika mereka merasa menang membantai seluruh penduduk bumi, dia menantang penduduk langit. Inilah kesombongan yang luar biasa dari Ya`juj wa Ma`juj.
ثُمَّ يَسِيرُونَ حَتَّى يَنْتَهُوا إِلَى جَبَلِ الْخُمَرِ وَهُوَ جَبَلُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَيَقُولُونَ: لَقَدْ قَتَلْنَا مَنْ فِي الْأَرْضِ هَلُمَّ فَلْنَقْتُلْ مَنْ فِي السَّمَاءِ. فَيَرْمُونَ بِنُشَّابِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ فَيَرُدُّ اللهُ عَلَيْهِمْ نُشَّابَهُمْ مَخْضُوبَةً دَمًا
“Kemudian mereka berjalan dan berakhir di gunung Khumar, yaitu salah satu gunung di Baitul Maqdis. Kemudian mereka berkata: “Kita telah membantai penduduk bumi, mari kita membantai penduduk langit.” Maka mereka melemparkan panah-panah dan tombak-tombak mereka ke langit. Maka Allah subhanahuwata’ala kembalikan panah dan tombak-tombak mereka dalam keadaan berlumuran darah.” (HR. Muslim dalam kitab Al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah)
Yakni mereka mengira bahwa darah tersebut bukti kemenangan mereka melawan penduduk langit. Maka Allah subanauwata’ala binasakan seluruhnya pada saat puncak kesombongan mereka dalam waktu yang hampir bersamaan.
Binasanya Ya’juj dan Ma’juj dengan doa Nabi Isa ‘alaihissallam
Diriwayatkan dari An-Nawwas Ibni Sam’an dalam hadits yang panjang.
Di antaranya sebagai berikut:
إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيسَى إِنِّي قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَادًا لِي لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ فَحَرِّزْ عِبَادِي إِلَى الطُّورِ وَيَبْعَثُ اللهُ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ فَيَمُرُّ أَوَائِلُهُمْ عَلَى بُحَيْرَةِ طَبَرِيَّةَ فَيَشْرَبُونَ مَا فِيهَا وَيَمُرُّ آخِرُهُمْ فَيَقُولُونَ لَقَدْ كَانَ بِهَذِهِ مَرَّةً مَاءٌ وَيُحْصَرُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ حَتَّى يَكُونَ رَأْسُ الثَّوْرِ لِأَحَدِهِمْ خَيْرًا مِنْ مِائَةِ دِينَارٍ لِأَحَدِكُمُ الْيَوْمَ فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ فَيُرْسِلُ اللهُ عَلَيْهِمُ النَّغَفَ فِي رِقَابِهِمْ فَيُصْبِحُونَ فَرْسَى كَمَوْتِ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ يَهْبِطُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ إِلَى الْأَرْضِ فَلَا يَجِدُونَ فِي الْأَرْضِ مَوْضِعَ شِبْرٍ إِلَّا مَلَأَهُ زَهَمُهُمْ وَنَتْنُهُمْ فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ إِلَى اللهِ فَيُرْسِلُ اللهُ طَيْرًا كَأَعْنَاقِ الْبُخْتِ فَتَحْمِلُهُمْ فَتَطْرَحُهُمْ حَيْثُ شَاءَ اللهُ ثُمَّ يُرْسِلُ اللهُ مَطَرًا لَا يَكُنُّ مِنْهُ بَيْتُ مَدَرٍ وَلَا وَبَرٍ فَيَغْسِلُ الْأَرْضَ حَتَّى يَتْرُكَهَا كَالزَّلَفَةِ ثُمَّ يُقَالُ لِلْأَرْضِ أَنْبِتِي ثَمَرَتَكِ وَرُدِّي بَرَكَتَكِ…
Ketika Allah subhanahuwata’ala mewahyukan kepada Isa ‘alaihissalam: Sesungguhnya aku mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak ada kemampuan bagi seorang pun untuk memeranginya. Maka biarkanlah mereka hamba-hamba-Ku menuju Thuur. Lalu Allah subhanahuwata’ala keluarkan Ya’juj wa Ma’juj dan mereka mengalir dari tiap-tiap tempat yang tinggi. Kemudian mereka melewati danau Thabariyah1, dan meminum seluruh air yang ada padanya. Hingga ketika barisan paling belakang mereka sampai di danau tersebut mereka berkata: “Sungguh dahulu di sini masih ada airnya.” Ketika itu terkepunglah Nabiyullah Isa ‘alaihissallam dan para sahabatnya.
Hingga kepala sapi ketika itu lebih berharga untuk mereka daripada seratus dinar kalian sekarang ini. Maka Isa dan para sahabatnya berharap kepada Allah subhanahuwata’ala. Maka Allah subhanahuwata’ala pun mengirim sejenis ulat yang muncul di leher mereka. Maka pagi harinya mereka seluruhnya binasa menjadi bangkai-bangkai dalam waktu yang hampir bersamaan. Kemudian turunlah (dari gunung Thuur) Nabiyullah Isa dan para sahabatnya, maka tidak didapati satu jengkal pun tempat kecuali dipenuhi oleh bangkai dan bau busuk mereka. Maka Nabi Isa ‘alaihissallam pun berharap (berdoa) kepada Allah subhanahuwata’ala. Maka Allah subhanahuwata’ala mengirimkan burung-burung yang lehernya seperti unta, membawa bangkai-bangkai mereka dan kemudian dilemparkan di tempat yang Allah subhanahuwata’ala kehendaki2. Kemudian Allah kirimkan hujan yang tidak menyisakan satu pun rumah maupun kemah, lalu membasahi bumi hingga menjadi licin. Kemudian dikatakan kepada bumi itu: ‘Tumbuhkanlah buahbuahanmu dan kembalilah berkahmu…” (HR. Muslim)

Wajib Beriman dengan berita Ya`juj wa Ma`juj

Berita tentang Ya`juj wa Ma`juj adalah berita dari Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya, sehingga seorang muslim yang beriman wajib menerimanya. Bukankah ciri-ciri orang yang bertakwa adalah beriman kepada hal
ghaib yang dikabarkan oleh Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya? Dan termasuk hal yang ghaib adalah apa yang akan terjadi pada akhir zaman, termasuk berita akan keluarnya Ya`juj wa Ma`juj? Namun sebagian kaum muslimin, khususnya kaum Mu’tazilah dan para rasionalis atau orang-orang yang terpengaruh oleh mereka, menolak berita-berita hadits yang -menurut anggapan mereka- tidak masuk akal. Mereka menganggap hadits-hadits tersebut hanya akan membuat orang lari dari Islam. Ketika mereka mendengarkan hadits-hadits tentang diangkatnya Nabi Isa ‘alaihissallam dalam keadaan hidup, akan turunnya beliau pada akhir zaman, berita tentang Dajjal – yang sudah ada wujudnya dalam keadaan terbelenggu- atau tentang Ya`juj wa Ma`juj yang masih beranak-pinak dan terus menerus berupaya untuk keluar dari benteng yang dibuat oleh Dzulqarnain, dan lain-lainnya. Mereka benar-benar gelisah, panas dadanya seraya berkata: “Untuk apa hadits-hadits seperti ini disampaikan. Hadits-hadits ini akan menjadikan manusia semakin jauh dari Islam.” Mereka melontarkan olok-olok, celaan, dan berbagai macam ucapan penolakan terhadap hadits-hadits tersebut. Keadaan mereka ini persis seperti yang dikatakan oleh para ulama tentang ahlul bid’ah:
Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullahu berkata: ”Tidak ada di dunia ini seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) pun kecuali akan membenci ahlil hadits. Jika seseorang mengada-adakan kebid’ahan niscaya akan dicabut kelezatan hadits dari hatinya.” (Aqidatussalaf wa Ashhabul Hadits hal. 300)
Abu Nashr bin Sallam Al-Faqih rahimahullahu berkata: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dan lebih dibenci bagi orang-orang mulhid (sesat) daripada mendengarkan hadits dengan riwayat dan sanadnya.” (AqidatusSalaf Ashhabil Hadits hal. 302)
Penutup
Sebagai nasihat dan peringatan untuk kita dan seluruh kaum muslimin, kami nukilkan beberapa ucapan para ulama dalam masalah ini:
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu menyatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi salallahu’alaihiwassallam, maka dia berada di pinggir jurang kehancuran.” (Thabaqat Al-Hanabilah, 2/11 dan Al-Ibanah, 1/269; lihat Ta’zhimus Sunnah hal. 29)
A l – I m a m A l – B a r b a h a r i rahimahullahu menegaskan: “Jika engkau mendengar seseorang mencela riwayat-riwayat (yakni riwayat hadits yang shahih), menolaknya atau menginginkan selainnya, maka curigailah
keislamannya dan jangan ragu kalau dia adalah pengekor hawa nafsu, ahlul bid’ah.”(Syarhus Sunnah hal. 51)
Abul Qashim Al-Ashbahani rahimahullahu menerangkan: Ahlus Sunnah dari kalangan salaf berkata: “Barangsiapa mencerca riwayat-riwayat hadits, maka sepantasnya untuk dituduh keislamannya.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/248. Lihat Ta’zhimus Sunnah, hal. 29)
Al-Imam Az-Zuhri  –imamnya para imam pada zamannya- berkata: “Dari Allah subanahuwata’ala keterangannya, Rasulullah sallallahu’alaihiwassalam yang menyampaikannya, maka kewajiban kita adalah menerimanya.” (Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hal. 249)
Beliau berkata juga: “Diriwayatkan dari salaf bahwa kaki Islam tidak akan kokoh, kecuali di atas fondasi at-taslim (yakni menerima dan tunduk pada seluruh ucapan Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya, pent.).” (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits hal. 200) Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1 Danau Tiberias/Galilea, terletak di wilayah pendudukan Yahudi, tepatnya di barat daya Dataran Tinggi Golan. Merupakan sumber air tawar bagi warga Yahudi-Israel.
2 Dalam riwayat lain, dilemparkan ke laut. (HR. Hakim dalam Mustadrak-nya, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya)

*********************

Ya’juj dan Ma’juj Sudah Muncul?

Penulis: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Ya`juj dan Ma`juj, bangsa yang nanti akan muncul menjelang hari kiamat memang sudah ada sekarang di sebuah wilayah yang dipagari oleh sebuah “benteng”. Namun benarkah mereka telah berhasil menembus dinding besi dan tembaga yang mengisolir mereka selama ini kemudian mewujud dalam bangsa yang mendiami wilayah Rusia dan negara-negara pecahan Soviet di Asia Tengah dan sebagian Eropa? Dan benarkah mereka adalah bangsa Mongol (Tartar)?

Asyrathus Sa’ah (أَشْرَاطُ السَّاعَةِ) mengandung pengertian asy-syarthu (الشَّرْطُ) yang bermakna tanda (al-‘alamah). Bentuk jamaknya asyrath (أَشْرَاطٌ). Tanda sesuatu adalah permulaannya. Misal, seorang komandan, berarti dia adalah orang yang di depan memimpin pasukan (bawahannya). Sedangkan kata as-sa’ah (السَّاعَةُ) secara bahasa memiliki makna satu bagian dari bagian-bagian malam dan siang. Bentuk jamaknya sa’at (سَاعَاتٌ) dan sa’a (سَاعَ). As-Sa’ah menurut istilah syar’i yaitu waktu terjadinya kiamat. Disebut kiamat lantaran cepatnya hisab pada hari itu, atau pada waktu itu manusia terkejut dalam hentakan sesaat, kemudian semua mengalami kematian dalam satu tiupan. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, Lisanul ‘Arab, dan Al-Qamus Al-Muhith. Lihat Asyrathus Sa’ah, karya Yusuf Al-Wabil)
Maka, Asyrathus Sa’ah adalah tanda-tanda kiamat yang mendahului tibanya (hari kiamat) serta menunjukkan akan dekatnya.
Tanda-tanda kiamat terbagi menjadi dua bagian, yaitu asyrath shughra, yaitu tanda-tanda yang mendahului kiamat dalam rentang waktu yang panjang, seperti pudarnya ilmu (di tengah kehidupan umat, pent.), berkembangnya kebodohan (terhadap agama), merebaknya minuman keras, banyaknya bangunan bertingkat, dan lain-lain. Adapun yang kedua, yaitu asyrath kubra. Ini merupakan tanda-tanda yang berupa kejadian-kejadian besar yang terjadi menjelang hari kiamat. Apa yang terjadi merupakan peristiwa-peristiwa yang luar biasa, seperti kemunculan Dajjal, turunnya Isa ‘alaihissalam, keluarnya Ya`juj dan Ma`juj, serta terbitnya matahari dari barat. (Asyrathus Sa’ah, karya Yusuf Al-Wabil)
Al-Qur`an mengungkap fenomena kemunculan Ya`juj dan Ma`juj sebagai bagian dari kejadian-kejadian menjelang hari kiamat.
حَتَّىٰٓ إِذَا فُتِحَتۡ يَأۡجُوجُ وَمَأۡجُوجُ وَهُم مِّن ڪُلِّ حَدَبٍ۬ يَنسِلُونَ (96
(97 وَٱقۡتَرَبَ ٱلۡوَعۡدُ ٱلۡحَقُّ فَإِذَا هِىَ شَـٰخِصَةٌ أَبۡصَـٰرُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يَـٰوَيۡلَنَا قَدۡ ڪُنَّا فِى غَفۡلَةٍ۬ مِّنۡ هَـٰذَا بَلۡ ڪُنَّا ظَـٰلِمِينَ
“Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah kedatangan janji yang benar (hari kiamat), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata): ‘Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami adalah dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang zhalim’.” (Al-Anbiya`: 96-97)
Juga dalam surat Al-Kahfi ayat 92-99 dinyatakan pula perihal Ya`juj dan Ma`juj:
ثُمَّ أَتۡبَعَ سَبَبًا (92
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ بَيۡنَ ٱلسَّدَّيۡنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوۡمً۬ا لَّا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ قَوۡلاً۬ (93
قَالُواْ يَـٰذَا ٱلۡقَرۡنَيۡنِ إِنَّ يَأۡجُوجَ وَمَأۡجُوجَ مُفۡسِدُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَهَلۡ نَجۡعَلُ لَكَ خَرۡجًا عَلَىٰٓ أَن تَجۡعَلَ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَهُمۡ سَدًّ۬ا (94
قَالَ مَا مَكَّنِّى فِيهِ رَبِّى خَيۡرٌ۬ فَأَعِينُونِى بِقُوَّةٍ أَجۡعَلۡ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَہُمۡ رَدۡمًا (95
ءَاتُونِى زُبَرَ ٱلۡحَدِيدِ‌ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا سَاوَىٰ بَيۡنَ ٱلصَّدَفَيۡنِ قَالَ ٱنفُخُواْ‌ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَعَلَهُ ۥ نَارً۬ا قَالَ ءَاتُونِىٓ أُفۡرِغۡ عَلَيۡهِ قِطۡرً۬ا (96
فَمَا ٱسۡطَـٰعُوٓاْ أَن يَظۡهَرُوهُ وَمَا ٱسۡتَطَـٰعُواْ لَهُ ۥ نَقۡبً۬ا (97
قَالَ هَـٰذَا رَحۡمَةٌ۬ مِّن رَّبِّى‌ۖ فَإِذَا جَآءَ وَعۡدُ رَبِّى جَعَلَهُ ۥ دَكَّآءَ‌ۖ وَكَانَ وَعۡدُ رَبِّى حَقًّ۬ا (98
وَتَرَكۡنَا بَعۡضَہُمۡ يَوۡمَٮِٕذٍ۬ يَمُوجُ فِى بَعۡضٍ۬‌ۖ وَنُفِخَ فِى ٱلصُّورِ فَجَمَعۡنَـٰهُمۡ جَمۡعً۬ا (99
“Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan keduanya, suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: ‘Hai Dzulqarnain1, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’ Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kalian dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi.’ Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Dzulqarnain berkata: ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila telah datang janji Rabbku Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu adalah benar.’ Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya.”
Kemunculan Ya`juj dan Ma`juj merupakan satu dari tanda-tanda kiamat besar. Ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Hudzaifah bin Usaid Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di hadapan kami di mana saat itu kami tengah berbincang-bincang. Maka beliau bertanya: “Apa yang kalian perbincangkan?” Mereka (para shahabat) menjawab: “Kami sedang berbincang tentang hari kiamat.”
Lantas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ، فَذَكَرَ الدُّخَانَ، وَالدَّجَّالَ، وَالدَّابَّةَ، وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ، وَثَلاَثَةَ خُسُوفٍ: خَسْفٌ بِالْـمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْـمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنْ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ
“Sesungguhnya tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian melihat sebelumnya sepuluh tanda. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan: Muncul Dajjal, binatang, matahari terbit dari barat, Isa bin Maryam turun (ke bumi), Ya`juj dan Ma`juj, tiga khusuf2, yaitu di timur, barat, dan jazirah Arab. Lantas akhir semua itu muncul api yang keluar dari Yaman yang menghalau manusia ke tempat berkumpul mereka.” (Shahih Muslim, Kitabu Al-Fitan wa Asyrathu As-Sa’ah)
Bahkan dalam hadits yang berasal dari An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu (dalam Shahih Muslim) disebutkan kemunculan Ya`juj dan Ma`juj ini dalam satu rangkaian dengan kemunculan Dajjal, Isa bin Maryam, lantas muncul Ya`juj dan Ma`juj. Semua peristiwa tersebut adalah peristiwa-peristiwa yang akan mendahului terjadinya hari kiamat.
Nampaklah bahwa peristiwa demi peristiwa jelang hari kiamat merupakan peristiwa yang tersusun bagai marjan dalam satu untaian tali. Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْآيَاتُ خَرَزَاتٌ مَنْظُومَاتٌ فِي سِلْكٍ فَإِنْ يُقْطَعِ السِّلْكُ يَتْبَعْ بَعْضُهَا بَعْضًا
“Tanda-tanda hari kiamat (bagaikan) marjan yang disusun dalam untaian tali. Bila tali itu putus, maka terikutlah sebagian pada sebagian (lainnya).” (Musnad Ahmad 12: 6-7, hadits no. 7040. Ahmad Syakir rahimahullahu berkata, “Sanadnya shahih.” Al-Haitsami rahimahullahu berkata, “Hadits ini diriwayatkan Ahmad dan di dalamnya terdapat Ali bin Zaid yang bagus haditsnya.” Majma’uz Zawaid, 7/321. Lihat Asyrathu As-Sa’ah, Yusuf Al-Wabil, hal. 246)
Ya`juj dan Ma`juj merupakan anak keturunan Nabi Adam ‘alaihissalam (manusia). Dalil yang menunjukkan mereka dari anak cucu Adam adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: يَا آدَمُ. فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ. فَيَقُولُ: أَخْرِجْ بَعْثَ النَّارِ. قَالَ: وَمَا بَعْثُ النَّارِ؟ قَالَ: مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَ مِائَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ فَعِنْدَهُ يَشِيبُ الصَّغِيرُ ﭽ        ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ     ﭼ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَأَيُّنَا ذَلِكَ الْوَاحِدُ؟ قَالَ: أَبْشِرُوا فَإِنَّ مِنْكُمْ رَجُلاً وَمِنْ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ أَلْفًا
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai Adam.” Adam menjawab: “Aku sambut panggilan-Mu dan dengan bahagia aku penuhi perintah-Mu, segala kebaikan berada di tangan-Mu. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Keluarkanlah utusan (penghuni) neraka.” Adam bertanya, “Apa utusan (penghuni) neraka itu?” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dari setiap 1.000 orang ada 999 orang.” Maka, ketika itu anak-anak kecil rambutnya beruban, yang hamil melahirkan kandungannya, dan kamu lihat manusia mabuk padahal mereka tidak mabuk, akan tetapi karena adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang teramat keras. Para shahabat bertanya, “Siapa satu yang selamat dari kita itu, wahai Rasulullah?” Beliau jawab, “Bergembiralah, karena kamu hanya seorang sedang dari kalangan Ya`juj dan Ma`juj seribu orang.” (Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Anbiya` Bab Qishshah Ya`juj wa Ma`juj)
Berdasar hadits ini pula, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menyatakan bahwa Ya`juj dan Ma`juj adalah keturunan manusia. Kata beliau, “Hadits ini jelas sekali menyatakan bahwa Ya`juj dan Ma`juj adalah keturunan Adam.” Demikian pula Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dalam Tafsiru Surati Al-Kahfi menyebutkan bahwa dengan hadits ini kita mengetahui kesalahan mereka yang berpendapat Ya`juj dan Ma`juj bukan berujud seperti manusia. Sebagian mereka sangat pendek dan sebagian lagi sangat tinggi tubuhnya. Sebagian telinganya terpentang dan yang lain berlipat. Semuanya merupakan dongeng Israiliyat. Tidak boleh kita membenarkan (begitu saja), bahkan harus dikatakan bahwa sesungguhnya mereka termasuk bani Adam (manusia), hanya saja mereka kemungkinan berbeda seperti perbedaan (di antara) manusia karena keadaan lingkungannya.” Demikian kata Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullahu.
Karakteristik Ya`juj dan Ma`juj di muka bumi ini adalah melakukan kerusakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالُواْ يَـٰذَا ٱلۡقَرۡنَيۡنِ إِنَّ يَأۡجُوجَ وَمَأۡجُوجَ مُفۡسِدُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَهَلۡ نَجۡعَلُ لَكَ خَرۡجًا عَلَىٰٓ أَن تَجۡعَلَ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَهُمۡ سَدًّ۬ا
“Mereka berkata, ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi….” (Al-Kahfi: 94)
Kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu, yang dimaksud Al-Ifsad (membuat kerusakan) di muka bumi mencakup semua perbuatan yang tidak baik dan tidak memperbaiki. Merusak dengan membunuh, merampok atau merampas, penyimpangan, kesyirikan, dan dalam segala hal.
Ibnu Katsir rahimahullahu saat memberi penjelasan pada ayat:
حَتَّىٰٓ إِذَا فُتِحَتۡ يَأۡجُوجُ وَمَأۡجُوجُ وَهُم مِّن ڪُلِّ حَدَبٍ۬ يَنسِلُونَ
“Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya`juj dan Ma`juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (Al-Anbiya’: 96)
disebutkan bahwa (mereka) orang-orang yang cepat dalam berjalan guna membuat kerusakan.
Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya meriwayatkan dengan memberi tambahan (pada hadits An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu) setelah lafal “di danau ini pernah ada air” dengan sabda beliau yang artinya: “Kemudian mereka berjalan hingga Gunung Khumar, yaitu gunung di Baitul Maqdis, maka mereka (Ya`juj dan Ma`juj) berkata, ‘Sungguh kita telah membunuh penduduk bumi. Maka, marilah kita bunuh penduduk langit.’ Lalu mereka melepaskan anak panah mereka ke langit, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala kembalikan anak-anak panah mereka itu kepada mereka dengan berlumuran darah. (Shahih Muslim, tambahan hadits no. 2937)
Begitulah laku lampah Ya`juj dan Ma`juj. Destruktif, membuat onar, berbuat kerusakan di muka bumi. Timbul pertanyaan, kapan Ya`juj dan Ma`juj muncul? Sudahkah Ya`juj dan Ma`juj muncul di era lalu atau bahkan di zaman sekarang ini?
Ada beberapa kalangan yang berpendapat bahwa Ya`juj dan Ma`juj telah ada dewasa ini. Seperti dinukil Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam kitabnya Ya`juj wa Ma`juj wa Fitnatu Ad-Dajjal (hal. 21), bahwa Al-Amir Syakib Arsalan dan selainnya berpandangan sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj adalah negara Soviet atau sebagian dari mereka. Tidak diragukan sesungguhnya mereka adalah bagian dari Ya`juj dan Ma`juj. Demikian diungkapkan Al-Amir Syakib Arsalan.
Lain halnya dengan Sayyid Quthub. Dia berpendapat, secara tarjih, bukan yakin, bahwa janji Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk melubangi dinding telah terjadi serta Ya`juj dan Ma`juj telah keluar. Mereka adalah bangsa Tartar yang muncul pada abad ke-7 Hijriyah. Mereka telah menghancurkan kerajaan-kerajaan Islam dan menebar kerusakan di muka bumi. (Asyrathu As-Sa’ah, Yusuf Al-Wabil hal. 378)
Dalam hadits An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Isa ‘alaihissalam akan keluarnya Ya`juj dan Ma`juj yang tidak ada seorang pun mampu memerangi mereka, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Isa ‘alaihissalam menjauhkan kaum mukminin dari jalan yang ditempuh Ya`juj dan Ma`juj seraya berfirman: “Kumpulkan hamba-hamba-Ku ke gunung Ath-Thur.” (lihat Asyrathu As-Sa’ah, Yusuf Al-Wabil hal. 369)
Berdasarkan hadits An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim, maka akan nampak bahwa kemunculan Ya`juj dan Ma`juj bersamaan masa dengan kehadiran Isa ‘alaihissalam. Maka apabila Ya`juj dan Ma`juj dinyatakan telah muncul, tentu akan timbul pertanyaan, bagaimana dengan Isa ‘alaihissalam?
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi rahimahullahu menyatakan setelah beliau rahimahullahu memaparkan hadits An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu yang panjang, “Berdasar hadits shahih ini, sungguh aku telah melihat penjelasan Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewahyukan kepada Isa bin Maryam perihal keluarnya Ya`juj dan Ma`juj setelah terbunuhnya Dajjal.’ Barangsiapa yang menyatakan bahwa mereka (Ya`juj dan Ma`juj) adalah Rusia, dan dinding itu telah roboh sejak dulu, maka pendapatnya tersebut menyelisihi apa yang telah dikabarkan Ash-Shadiqu Al-Mashduq (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka batil. Karena sesungguhnya, yang menentang kabar Ash-Shadiq adalah pendusta yang membahayakan, sebagaimana dimaklumi. Tidak ada sesuatu yang kuat dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa memalingkan hadits (An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu, ed.) ini yang anda telah melihat keshahihan sanadnya serta memberi kejelasan dalil-dalilnya tentang maksud yang dituju.
Pada hakekatnya, yang menjadi sandaran bagi orang-orang yang menyatakan bahwa Ya`juj dan Ma`juj adalah Rusia, dan sandaran orang-orang mulhid (atheis) bahwa Ya`juj dan Ma`juj itu tidak ada wujudnya, adalah alasan-alasan logika, yang telah menjadi keyakinan pemiliknya.” (Adhwa`u Al-Bayan fi Idhah Al-Qur`an bi Al-Qur`an, hal. 141-142)
Menurut mereka, kalau Ya`juj dan Ma`juj itu sudah ada di balik benteng tersebut, tentu sudah ditemukan lokasinya. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi yang pesat dan alat-alat yang canggih untuk mendeteksi keberadaan mereka. Tapi, karena tidak ada orang yang menemukan mereka atau lokasi mereka, berarti Ya`juj dan Ma`juj belum pernah ada.
Logika seperti ini dapat dibantah dengan realita bahwa banyak hal yang masih belum mampu diungkap hakekatnya, secanggih apapun teknologi yang dikuasai manusia. Ruh misalnya. Ruh, yang demikian dirasakan keberadaannya, selalu menyertai, tetapi belum pernah terungkap eksistensi dan substansinya.
Maka, yang menjadi salah satu tanda-tanda datangnya hari kiamat besar, yaitu keluarnya Ya`juj dan Ma`juj pada akhir zaman, belum terjadi. Sebab, hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa Ya`juj dan Ma`juj keluar setelah Isa ‘alaihissalam turun ke bumi. Dialah yang berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar membinasakan Ya`juj dan Ma`juj. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun lantas membinasakan dan membuang bangkai mereka ke laut, serta mengamankan negara-negara dan hamba-hamba-Nya dari kejahatan Ya`juj dan Ma`juj.
Wallahu ta’ala a’lam.

sumber :http://kaahil.wordpress.com/2012/09/23/lengkap-kisah-yajuj-wa-majuj-tembok-benteng-dzulqornain-apakah-mereka-sudah-ada-sekarang-dimanakah-lokasi-yajuj-majuz-apakah-di-rusia-sovietchina-benarkah-mereka-adala/
baca selanjutnya »»  

Jumat, 06 Desember 2013

Bantahan terhadap Abu Salafy , "Perkataan Abu Salafy : Berdoa Kepada Selain Allah Tidak Mengapa Selama Tidak Syirik Dalam Tauhid Rububiyah"

Kesyirikan menurut Abu Salafy

((Abu Salafy berkata:

Syirik adalah sudah jelas, ia menyekutukan Allah SWT. dalam:

A) Dzat, dengan meyakini ada tuhan selain Allah SWT.

B) Khaliqiya, dengan meyakini bahwa ada pencipta dan ada pelaku yang berbuat secara independen di alam wujud ini selain Allah SWT.

C) Rububiyah, dengan mayakini bahwa ada kekuatan selain Allah SWT yang mengatur alam semesta ini secara independen. Adapun keterlibatan selain Allah, seperti para malaikat, misalnya yang mengaturan alam adalah dibawah kendali Allah dan atas perintah dan restu-Nya.

D)Tasrî’, dengan meyakini bahwa ada pihak lain yang memiliki kewenangan secara independen dalam membuat undang-undang dan syari’at.

E) Hâkimiyah, dengan meyakini bahwa ada kekuasaan yang dimiliki oleh selain Allah secara independen.

F) Ibadah dan penyembahan, dengan menyembah dan bersujud kepada arca dan sesembahan lain selain Allah SWT, meminta darinya sesuatu dengan kayakinan bahwa ia mampu mendatangkannya secara independen dan dengan tanpa bantuan dan izin Allah SWT.
Batasan-batasan syirik, khususnya syirik dalaam ibadah dan penyembahan adalah sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dari ayat-ayat Al Qur’an yang mengisahkan kaum Musyrikin dapat dimengerti bahwa kendati kaum Musyrikin itu meyakini bahwa Allah lah yang mencipta langit dan bumi, pemberi rizki dan pengatur alam, akan tetapi tidak ada petunjuk bahwa mereka tidak meyakini bahwa sesembahan mereka itu; baik dari kalangan Malaikat maupun Jin memiliki pengaruh di dalam pengaturan alam semesta ini! Dengan pengaruh di luar izin dan kontrol Allah SWT. Mereka meyakini bahwa sesembahan mereka mampu menyembuhkan orang sakit, menolong dari musuh, menyingkap bencana dan kesusahan dll tanpa izin dan restu Allah!))(http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/31/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-23/))

Dari sini jelaslah bahwasanya Abu Salafy hanya menyatakan seseorang terjerumus dalam kesyirikan jika meyakini Dzat yang ia ibadahi memiliki hak independent dalam pengaturan alam semesta. Dari sini terungkap rahasia kenapa Abu Salafy ngotot pada dua perkara :

-         Ngotot kalau kaum musyrikin Arab tidak mengakui adanya Allah. Adapun pernyataan mereka dalam Al-Qur'an bahwasanya Allah adalah pencipta dan pemberi rizki hanyalah sikap berpura-pura, akan tetapi batin mereka tidak beriman kepada Allah. (yang telah saya bantah dalam tulisan saya http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/82-persangkaan-abu-salafy-al-majhuul-bahwasanya-kaum-musyrikin-arab-tidak-mengakui-rububiyyah-allah dan http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/113-sekali-lagi-tipu-muslihat-abu-salafy-cs-bag-2)

-         Ngotot kalau keyakinan kaum musyrikin bahwasanya malaikat adalah putri-putri Allah maksudnya adalah para malaikat ikut mencipta dan member rizki (sebagaimana telah saya bantah dalam tulisan saya http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)

Karena dengan dua perkara di atas maka Abu Salafy ingin menggolkan pemikirannya bahwa yang namanya kesyirikan adalah jika seseorang meyakini ada dzat lain yang ikut mencipta dan memberi rizki dan mengatur alam semesta selain Allah.

Oleh karenanya wajar jika Abu Salafy menyatakan bahwa :

Pertama : Berdoa kepada selain Allah jika dilakukan oleh seorang muslim maka itu bukanlah kesyirkian. Jika seseorang berdoa dan berkata ; "Wahai Rasulullah sembuhkanlah aku, wahai Rasulullah selamatkanlah aku" maka ini bukanlah kesyirikan selama orang tersebut tidak meyakini Rasulullah ikut mencipta alam dan pemberi rizki serta ikut mengatur alam semesta. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk membawakan lafal orang ini pada artian "Wahai Rasulullah mintalah kepada Allah agar menyembuhkan aku dan agar menyelamatkan aku"

Abu Salafy berkata ((Sebab sebagaimana harus kita yakini bahwa seorang Muslim Mukmin yang meyakini bahwa apapun selain Allah SWT tidak memiliki daya dan kekuatan apapun… tidak dapat memberikan manfa’at atau mudharrat apapun…. kecuali dengan izin Allah, sudah cukup sebagai alasan bagi kita untuk menilai positif apa yang ia lakukan… cukup alasan untuk mengatakan bahwa sebenarnya apa yang ia lakukan adalah tidak lain hanyalah meminta syafa’at dan meminta dido’akan. Andai-kata kita tidak mengetahui dengan pasti apa yang menjadi tujuan dari apa yang ia kerjakan, maka adalah wajib untuk menilai positif amalan dan ucapan seorang Muslim dengan dasar kewajiban penilai positif setiap amalan atau ucapan Muslim selagi bisa dan ada jalan untuk itu, sehingga tertutup seluruh jalan untuk penafsiran positif dan tidak ada penafsiran lain selai keburukan)), Abu salafy juga berakta ((misalnya ketika ia menyeru, ‘Ya Rasulullah sembuhkan aku’ sebenarnya ia sedang meminta agar Rasulullha saw. sudi menjadi perantara kesembuhan dengan memohonkannya dari Allah SWT. kendati ia meyakini bahwa kesembuhan itu dari Allah, akan tetapi karena ia dengan perantaraan do’a dan syafa’at Rasulullah, maka ia menisbatkannya kepada sebab terdekat. Penyusunan kalimat dengan bentuk seperti itu banyak kita jumpai dalam Al Qur’an, Sunnah dan pembicaraan orang-orang Arab. Mereka menamainya dengan Majâzz ‘Aqli, yaitu “menyandarkan sebuah pekerjaan tertentu kepada selain pelakunya, baik karena ia sebagai penyebab atau selainnya, dikarenakan adanya qirînah/alasan yang membenarkan”.

Seperti dalam contoh, “Si Raja membangun Istana yang sangat megah” dalam ucapan di atas, semua tau bahwa bukan maksud si pengucap bahwa sang raja itu sendiri yang membangun dinding-dinding, memasang altar, dan kramik istana itu misalnya, semua mengerti bahwa yang ia maksud ialah bahwa yang membangun adalah para tukang bangunan, yang merancang adalah para arsitek, mereka adalah sebab terdekad terbangunnya istana megah itu, akan tetapi karena semua itu atas peritah sang Raja, maka tidaklah salah apabila ia mengatakan bahwa Sang raja membangun istana! Sebagaimana tidak salah pula apabila ia mengatakan bahwa para pekerja/tukang bangunan telah membangun istana Raja!

Dalam kasus kita di atas misalnya, qarînah yang membenarkan pemaknaan tersebut adalah dzahir keadaan si Muslim. Karena pengucapnya adalah seorang Muslim yang meyakini dan mengikrarkan bahwa selain Allah tidak ada yang memiliki daya dan kekuatan apapun baik untuk dirinya maupun untuk orang lain, baik memberi manfa’at ataupun mudharrat… semua yang terjadi adalah dengan taqdir dan ketetapan Allah SWT… maka hal ini sudah cukup sebagain qarînah yang membenarkannya.

Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa ucapan seperti: ‘Musim semi itu menumbuhkan tanaman’ jika diucapkan oleh seorang Muslim maka ia tidak menunjukkan kemusyrikan, sebab ia termasuk ketegori majâz ‘aqli, akan tetapi jika pengucapnya adalah seorang ateis atau yang tidak percaya Tuhan, misalnya maka ia menunjukkan kemusyrikan, sebab ia bukan termasuk majâz ‘aqli, ia mengucapkannnya dengan haqîqatan! Ia menisbatkan pelaku penumbuhan tanaman itu kepada musim semi dengan sepenuh keyakinan bahwa musim semi-lah yang yang menumbuhkannya bukan Allah SWT.

Dari sini dapat dimengerti bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara ucapan seorang Muslim ‘Musim semi itu menumbuhkan tanaman’ dengan ucapannya “Wahai Rasulullah, sembuhkan aku dari sakitku”?!)), Abu Salafy juga berkata ((Lalu apakah dikarenakan ucapan tersebut di atas seorang Muslim dihukumi telah musyrik/menyekutukan Allah SWT.?! Tentu tidak!!

Benar, apabila seorang yang mengucapkannya meyakini bahwa yang ia seru itu mampu melakukan apa yang ia minta dengan tanpa bantaun dan taqdir Allah maka ia jelas telah menyekutukan Allah SWT. dan pastilah kaum Muslimin akan berlepas diri dari kemusrikan itu. Tetapi permasalahannya, apakah demikian yang diyakini kaum Muslimin ketika mereka ber-istghatsah dan memanggil mana Rasulullah saw., atau nama hamba-hamba shaleh pilihan Allah sepeti Ahlulbait Nabi dan para waliyullah! )) ((lihat http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/22/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-18/))

Kedua : Jika seseorang menyembelih kepada selain Allah, kepada para wali misalnya, maka demikian pula menurut Abu Salafy maka itu bukanlah kesyirikan jika dilakukan oleh seorang muslim. Karena tidak seorang muslimpun yang meyakini wali tersebut ikut mengatur dan mencipta serta memberi rizki. Oleh karenanya jika ada seorang muslim yang menyembelih kepada selain Allah maka harus dibawakan kepada makna orang tersebut menyembelih untuk wali agar sang wali menjadi perantara antara ia dengan Allah dalam memenuhi hajatnya. Abu Salafy juga berkata ((…. ketika ada seorang bernazar menyembelih seekor binatang ternak untuk seorang wali misalnya, maka kaum wahhabi segera menudingnya sama dengan kaum Musyrik yang memberikan sesajen kepada para arca …. padahal yang perlu mereka ketahui bahwa seorang muslim yang sedang bernazar itu ia sedang meniatkan agar pahala sembelihannya diberikan kepada si wali tersebut! Anggap praktik seperti itu salah, tetapi ia pasti bukan sebuah kemusyrikan…))(http://abusalafy.wordpress.com/2008/04/22/kasyf-asy-sybuhat-doktrin-takfir-paling-ganas-14/)



Sanggahan



Untuk menyanggah pernyataan Abu salafy maka saya ingatkan kepada para pembaca tiga perkara:

Pertama : Bahwasanya hakekat kesyirikan adalah menyerahkan ibadah kepada selain Allah. Kita telah mengikrarkan dalam sholat kita

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang Kami sembah
 (QS Al-Faatihah : 5)

Oleh karenanya seluruh peribadatan kepada selain Allah adalah bentuk kesyirikan.

Contoh-contoh ibadah seperti sujud, ruku', bernadzar, menyembelih, dan merupakan ibadah yang sangat agung adalah berdoa, demikian juga istigotsah yang merupakan bentuk berdoa tatkala dalam keadaan genting.

Oleh karenanya sebagaimana sujud, ruku, menyembelih jika diserahkan kepada selain Allah merupakan kesyirikan maka demikian pula berdoa. Bahkan ayat-ayat yang menunjukan akan larangan berdoa kepada selain Allah lebih banyak daripada ayat tentang larangan sujud dan menyembelih kepada selain Allah.

Kedua : Hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab adalah menjadikan sesembahan mereka sebagai perantara untuk mendekatkan mereka kepada Allah dan juga sebagai pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah (sebagaimana telah saya jelaskan dihttp://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)

Ar-Roozii berkata : "Mereka (kaum kafir) mereka menjadikan patung-patung dan arca-arca dalam bentuk para nabi-nabi mereka dan orang-orang mulia mereka, dan mereka menyangka bahwasanya jika mereka beribadah kepada patung-patung tersebut maka orang-orang mulia tersebut akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah. Dan yang semisal ini di zaman sekarang ini banyak orang yang mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia dengan keyakinan bahawasanya jika mereka mengagungkan kuburan-kuburan orang-orang mulia tersebut maka mereka akan menjadi pemberi syafaat bagi mereka di sisi Allah"(Mafaatiihul Goib/At-Tafsiir Al-Kabiir 17/63)

Ibnu Katsiir berkata : "Mereka membuat patung-patung di atas bentuk para malaikat yang mendekatkan (kepada Allah-pen) menurut persangkaan mereka. Maka merekapun menyembah patung-patung berbentuk tersebut dengan menempatkannya sebagai peribadatan mereka kepada para malaikat, agar para malaikat memberi syafaat bagi mereka di sisi Allah dalam menolong mereka dan memberi rizki kepada mereka dan perkara-perkara dunia yang menimpa mereka…

Oleh karenanya mereka berkata dalam talbiyah mereka tatkala mereka berhaji di zaman jahiliyyah : "Kami Memenuhi panggilanmu Ya Allah, tidak ada syarikat bagiMu kecuali syarikat milikMu yang Engkau memilikinya dan ia tidak memiliki"

Syubhat inilah yang dijadikan sandaran oleh kaum musyrikin zaman dahulu dan zaman sekarang" (Tafsiir Al-Qur'aan Al-'Adziim 12/111-112)

Para pembaca yang budiman dalam pernyataannya di atas Ar-Roozi dan Ibnu Katsir dengan tegas menyatakan bahwa syubhat mencari syafaat inilah yang telah menjerumuskan kaum muysrikin zaman dahulu dan zaman sekarang.

Ketiga : Beristigotsah kepada selain Allah yaitu kepada para wali yang sudah meninggal atau kepada Rasulullah dengan meyakini bahwa para wali tersebut hanyalah sebagai sebab dan pada hakekatnya Allah-lah yang menolong…itulah hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena beristigotsah kepada selain Allah adalah bentuk berdoa kepada selain Allah. Dan doa merupakan ibadah yang sangat agung, maka barangsiapa yang menyerahkan kepada selain Allah berarti ia telah beribadah kepada selain Allah, dan barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah maka dia adalah seorang musyrik.



Doa adalah ibadah yang sangat penting maka jika diserahkan kepada selain Allah merupakan syirik besar

Ibadah secara bahasa berarti ketundukan dan perendahan, Al-Jauhari rahimahullah berkata:

"Asal dari ubudiyah (peribadatan) adalah ketundukan dan kerendahan…, dikatakan الطَّرِيْقُ الْمُعَبَّدُ  (jalan yang ditundukan/mudah untuk ditempuh) dan الْبَعِيْرُ الْمُعَبَّدُ (onta yang tunduk/taat kepada tuannya) (As-Shihaah 2/503, lihat juga perkataan Ibnu Faaris di Mu'jam Maqooyiis Al-Lugoh 4/205, 206 dan perkataan Az-Zabiidi di Taajul 'Aruus 8/330) 

Adapun definisi ibadah menurut istilah adalah tidak jauh dari makna ibadah secara bahasa yaitu  ketaatan dan ketundukan serta kerendahan:

At-Thobari berkata pada tafsir surata al-Faatihah:

"Kami hanyalah memilih penjelasan dari tafsir ((Hanya kepada Engkaulah kami beribadah)) maknanya adalah kami tunduk, kami rendah, dan kami patuh… karena ubudiyah menurut seluruh Arab asalnya adalah kerendahan" (Tafsiir At-Thobari 1/159)

Al-Qurthubi berkata :

"((kami beribadah)) maknanya adalah : kami taat kepadaNya, dan Ibadah adalah : ketaatan dan kerendahan, dan jalan yang ditundukan jika ditundukan agar bisa ditempuh oleh para pejalan, sebagaimana dikatakan oleh Al-Harowi" (Tafsiir Al-Qurthubi 1/223)

Sesungguhnya doa merupakan ibadah yang sangat penting, karena pada doa nampaklah kerendahan dan ketundukan orang yang berdoa kepada dzat yang menjadi tujuan doa. Pantas saja jika Nabi bersabda :

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ}.

"Doa itulah ibadah", kemudian Nabi membaca firman Allah ((Dan Rob kalian berkata : Berdoalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan bagi kalian))" (HR Ahmad no 18352, Abu Dawud no 1481, At-Tirmidzi no 2969, Ibnu Maajah no 3828, dan isnadnya dinyatakan jayyid (baik) oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 1/49)

Ibnu Hajar berkata menjelaskan agungnya ibadah doa :

"Jumhur (mayoritas ulama) menjawab bahwasanya doa termasuk ibadah yang paling agung, dan hadits ini seperti hadits yang lain

الْحَجُّ عَرَفَةُ

"Haji adalah (wuquf di padang) Arofah"

Maksudnya (wuquf di Arofah) merupakan dominannya haji dan rukun haji yang paling besar.  Hal ini dikuatkan dengan hadits yang dikeluarkan oleh At-Thirimidzi dari hadits Anas secara marfuu' :

الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ

"Doa adalah inti ibadah"

Telah banyak hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang memotivasi dan mendorong untuk berdoa, seperti hadits Abu Huroiroh yang marfuu':

لَيْسَ شَيْئٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ

"Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia di sisi Allah daripada doa"

Diriwayatkan oleh At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan" (Fathul Baari 11/94)

Oleh karenanya pantas jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda

أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ؛ فَأَكْثِرُوْا الدُّعَاءَ

"Kondisi seorang hamba paling dekat dengan Robnya tatkala ia sujud, maka perbanyaklah doa" (HR Muslim no 215)

Imam An-Nawawi berkata;

أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ وَهُوَ مُوَافِقٌ لِقَوْلِ اللهِ تعالى وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ وَلِأَنَّ السُّجُوْدَ غَايَةُ التَّوَاضُعِ وَالْعُبُوْدِيَّةِ للهِ تعالى

"((Kondisi seorang hamba paling dekat dengan Robnya tatkala ia sujud)) dan ini sesuai dengan friman Allah ((Sujudlah dan mendekatlah)), dan karena sujud merupakan puncak tawadhu' dan peribadatan kepada Allah" (Al-Minhaaj 4/206)

Oleh karenanya posisi sujud merupakan posisi yang menunjukan rendahnya seorang hamba karenanya merupakan kondisi yang sangat pas bagi seorang hamba untuk memperbanyak doa. Karena tatkala doa nampaklah kebutuhan dan kerendahan seorang yang berdoa di hadapan Allah.

Al-Hulaimi (wafat tahun 403 H) berkata :

"Dan doa secara umum merupakan bentuk ketundukkan dan perendahan, karena setiap orang yang meminta dan berdoa maka ia telah menampakkan hajatnya (kebutuhannya) dan mengakui kerendahan dan kebutuhan kepada dzat yang ia berdoa kepadanya dan memintanya. Maka hal itu pada hamba seperti ibadah-ibadah yang dilakukan untuk bertaqorrub kepada Allah. Oleh karenanya Allah berfirman ((Berdoalah kepadaku niscaya akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah kepadaku akan masuk dalam neraka jahannam dalam keadaan terhina)). Maka Allah menjelaskan bawhasanya doa adalah ibadah" (Al-Minhaaj fai syu'ab Al-Iimaan 1/517)

Al-Hulaimi juga berkata :

"Hendaknya rojaa' (pengharapan) hanyalah untuk Allah karena Allah-lah Yang Maha Esa dalam kepemilikan dan pembalasan. Tidak ada seorangpun selain Allah yang menguasai kemanfaatan dan kemudhorotan. Maka barangsiapa yang berharap kepada dzat yang tidak memiliki apa yang ia tidak miliki maka ia termasuk orang-orang jahil. Dan jika ia menggantungkan rojaa (pengharapannya) kepada Allah maka hendaknya ia meminta kepada Allah apa yang ia butuhkan baik perkara kecil maupun besar, karena semuanya di tangan Allah tidak ada yang bisa memenuhi kebutuhan selain Allah. Dan meminta kepada Allah adalah dengan berdoa" (Al-Minhaaj fi Syu'ab Al-Iimaan 1/520)

Ar-Roozi berkata :

"Dan mayoritas orang berakal berkata : Sesungguhnya doa merupakan kedudukan peribadatan yang paling penting, dan hal ini ditunjukkan dari sisi (yang banyak) dari dalil naql (ayat maupun hadits-pen) maupun akal. Adapun dalil naql maka banyak" (Mafaatihul Goib 5/105)

Kemudian Ar-Roozi menyebutkan dalil yang banyak kemudian ia berkata :

"Allah berfirman ((Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang aku maka sesungguhnya aku dekat)), dan Allah tidak berkata ((Katakanlah aku dekat)), maka ayat ini menunjukkan akan pengagungan kondisi tatkala berdoa dari banyak sisi. Yang pertama, seakan-akan Allah berkata : HambaKu engkau hanyalah membutuhkan washithoh (perantara) di selain waktu berdoa adapun dalam kondisi berdoa maka tidak ada perantara antara Aku dan engkau" (Mafaatihul Goib 5/106)

Lantas bagaimana jika kerendahan dan ketundukkan kondisi seseorang yang sedang berdoa ini diserahkan dan diperuntukkan kepada selain Allah?, kepada para nabi dan para wali??!!. Bukankah ini merupakan bentuk beribadah kepada selain Allah alias syirik??!!

Sungguh dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan sangatlah banyak. Diantaranya firman Allah :

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berdoa kepada selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (QS Al-Ahqoof : 5)

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
Dan Barangsiapa berdoa kepada Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung (QS Al-Mukminun 117)

فَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ

Maka janganlah kamu berdoa kepada Tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang di'azab(Asy-Syu'aroo : 213).

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS An-Naml : 62)

وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Dan janganlah kamu berdoa di Tuhan apapun yang lain disamping (berdoa kepada) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan(QS Al-Qoshosh : 88).

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Dan Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu berdoa seseorangpun di dalamnya di samping berdoa Allah. 
(QS Al-Jin : 18)

Rasulullah bersabda :

مَنْ مَاتَ وَهْوَ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ

"Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan berdoa kepada selain Allah maka masuk neraka" (HR Al-Bukhari no 4497)

Itulah dalil yg banyak yang menunjukkan bahwa berdoa kepada selain Allah merupakan kesyirikan.

Lantas bagaimana ustadz abu Salafy menyatakan bahwasanya jika seseorang berdoa kepada selain Allah, kepada Nabi atau kepada wali maka itu bukanlah kesyirikan selama tidak disertai keyakinan bahwasanya wali atau nabi tersebut ikut mencipta dan mengatur alam semesta serta memberi rizki??!!

Perkataan seseorang "Wahai Rasulullah, sembuhkanlah aku!!!" ini bukanlah kesyirikan??, perkataan seseorang, "Wahai Abdul Qodir Jailani, tolonglah aku…!!", ini juga bukan kesyirikan??!!, iya bukan kesyirikan, selama tidak meyakini Nabi dan Abdul Qodir Jailani ikut mencipta dan mengatur alam semesta..!!!!, demikianlah keyakinan Abu Salafy.

Dan saya harap para pembaca memperhatikan ayat-ayat dan hadits di atas yang bersifat umum tentang doa. Allah dan Nabi shallallahu 'alahi wa sallam tidak pernah mengecualikan bahwasanya jika berdoa kepada makhluk dengan keyakinan bahwasanya makhluk tersebut (baik malaikat atau nabi atau wali) tidak ikut mencipta, mengatur, dan memberi rizki secara independent maka bukan kesyirikan.

Lebih aneh lagi Abu Salafy tidak menganggap istighotsah sebagai ibadah. Abu Salafy berkata ((Sebab inti masalahnya sebenarnya terletak pada pemahaman menyimpang Ibnu Taimyah dan para mukallidnya seperti Ibnu Abdil Wahhâb dan kaum Wahhâbi mukallidnya dalam mendefinisikan makna ibadah…di mana mereka memasukkan meminta syafa’at, beristighatsah, bertawassul dll. misalnya sebagai bentuk kemusyrikan… sementara para mufassir klasik yang selama ini dirujuk kaum Wahhâbiyyûn dan Salafiyyûn sama sekali tidak memasukkannya dalam daftar kemusyrikan!)) (lihat http://abusalafy.wordpress.com/2011/01/08/benarkan-kaum-musyik-arab-beriman-kepada-tauhid-rububiyyah-allah-bantahan-untuk-ustad-firanda-i/)

Sungguh kedustaan yang dinyatakan oleh Abu Salafy, justru para ahli tafsir telah menjelaskan hal tersebut merupakan kesyirikan. Kita malah balik bertanya ulama ahli tafsir mana yang menyatakan bahwa beristigotsah dan berdoa kepada selain Allah –selama tidak syirik dalam rububiyah- bukanlah kesyirikan??!!

Karenanya jika kita bertanya kepada orang-orang yang beristigotsah kepada para wali dengan berdoa kepada wali tatkala dalam keadaan genting, "Apakah jika kalian beristigotsah dan berdoa kepada Allah tatkala dalam keadaan genting maka bukankah hal itu merupakan ibadah?", tentunya mereka akan menjawab : iya. Tidak ada seorang muslimpun yang mengingkari hal ini bahwa seseorang yang dalam keadaan terdesak lantas berdoa kepada Allah maka berarti ia beribadah kepada Allah !!! Ini semakin menegaskan bahwasanya berdoa dan beristigotsah merupakan ibadah. Lantas bagaimana Abu Salafy tidak menganggap istighotsah sebagai ibadah??!!



Tentang majaz 'aqliy

Untuk semakin memperkuat igauannya maka ustadz Abu Salafy berdalil dengan majaz aqli, ia berkata ((misalnya ketika ia menyeru, ‘Ya Rasulullah sembuhkan aku’ sebenarnya ia sedang meminta agar Rasulullha saw. sudi menjadi perantara kesembuhan dengan memohonkannya dari Allah SWT. kendati ia meyakini bahwa kesembuhan itu dari Allah, akan tetapi karena ia dengan perantaraan do’a dan syafa’at Rasulullah, maka ia menisbatkannya kepada sebab terdekat. Penyusunan kalimat dengan bentuk seperti itu banyak kita jumpai dalam Al Qur’an, Sunnah dan pembicaraan orang-orang Arab. Mereka menamainya dengan Majâzz ‘Aqli, yaitu “menyandarkan sebuah pekerjaan tertentu kepada selain pelakunya, baik karena ia sebagai penyebab atau selainnya, dikarenakan adanya qirînah/alasan yang membenarkan”.))

Maka sanggahan terhadap perkataannya ini dari beberapa sisi, diantaranya :

Pertama : Pendalilan dengan majaz 'aqli untuk membenarkan kesyirikan atau mentakwil kesyirikan tidak pernah disebutkan oleh seorang ulama pun dari kalangan mutaqoddimin sepanjang pengetahuan saya. Semua ulama menghukumi syiriknya seseorang dengan dzohir lafal kesyirikan yang terucap. Pentakwilan dengan majaz 'aqli ini adalah bid'ah yang dicetuskan oleh Ali bin Abdil Kaafi As-Subki (wafat 746 H) dalam kitabnya Syifaa As-Siqoom fi ziyaaroh khoir Al-Anaam (hal 174), kemudian ditaqlid buta oleh Ahmad bin Zaini Dahlaan (wafat 1304 H) dalam kitabnya "Ad-Duror As-Saniyah fi Ar-Rod 'alaa Al-Wahaabiyah" dan Muhammad Alawi Al-Maaliki dalam kitabnya "Mafaahiim yajibu an tushohhah". Dan sekarang diwarisi oleh muqollid mereka Abu Salafy.

Kedua : Hal ini melazimkan bahwa tidak seorangpun yang kafir dengan lisannya, karena setiap seseorang mengucapkan kesyirikan atau bahkan kekufuran maka harus dibawakan kepada makna yang benar dengan qorinah (indikasi) keislaman pengucapnya.

Yang lebih parah lagi Abu Salafy tidak hanya menerapkan majaz 'aqli pada perkataan syirik seperti doa "Yaa Rasuulallah sembuhkanlah aku", bahkan ia juga menerapkan majaz 'aqliy pada perbuatan syirik, seperti menyembelih kepada wali.

Jika perkaranya demikian maka percuma bab-bab tentang kemurtadan yang ditulis oleh para ulama, tidak ada faedahnya, karena jika ada seseorang yang mengucapkan kekufuran atau kesyirikan maka harus di takwil pada makna yang tidak syirik karena pelakunya ber KTP islam, padahal para ulama telah sepakat bahwasanya seseorang tidak boleh mengucapkan perkataan kufur kecuali jika dipaksa.

Ketiga : Hal ini melazimkan bahwasanya kaum musyrikin yang menyembah berhala orang sholeh atau menyembah malaikat juga tidak bisa dihukumi sebagai kaum musyrikin. Karena mereka mengakui dalam banyak ayat bahwasanya Allahlah satu-satunya pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta. Pengakuan mereka terhadap rububiyah Allah ini merupakan qorinah bahwasanya permintaan mereka kepada berhala orang sholeh hanyalah majaz 'aqliy

Keempat : Dalih majaz 'aqliy ini melazimkan bolehnya para penyembah kubur untuk menyerahkan sebagian ibadah kepada para wali dengan alasan mereka hanya menjadikan para wali penghuni kuburan tersebut sebagai sebab, dan yang mengabulkan hanyalah Allah

Kelima : Hal ini melazimkan tidak boleh ada pengingkaran sama sekali terhadap kesyirikan yang terjadi ditengah kaum muslimin yang memiliki KTP muslim, karena KTP nya merupakan qorinah bahwasanya perkataan dan perbuatan syiriknya adalah bukan kesyirikan.

Keenam: Bahkan berdasarkan pemahaman Abu Salafy memang tidak ada kesyirikan sama sekali di umat ini, karena tidak ada diantara mereka yang meyakini bahwa ada dzat lain yang ikut mencipta, mengatur alam semesta, dan memberi rizki secara independent

Ketujuh : Majaaz 'aqliy secara umum adalah menyandarkan fi'il (perbuatan) bukan kepada pelakunya yang hakiki akan tetapi kepada salah satu dari dua perkara:

-         Penyandaran fi'il kepada waktu atau tempat terjadinya fi'il. Penyandaran perbuatan kepada waktu seperti misalnya perkataan "Musim semi telah menumbuhkan tanaman" (maksudnya : Allah menumbuhkan tanaman di waktu musim semi). Penyandaran perbuatan kepada tempat misalnya perkataan "Jalan kota Jakarta ramai" (maksudnya : "Orang-orang ramai di jalan kota Jakarta", karena keramaian dilakukan oleh orang-orang para pengguna jalan dan bukan dilakukan oleh jalan)

-         Penyadaran fi'il (perbuatan) kepada sebab terjadinya fi'il. Contohnya perkataan "Gubernur membangun gedung yang tinggi" (maksudnya : Gubernur sebab dibangunnya gedung yang tinggi yaitu dengan memerintahkan para pekerja"  (lihat Al-Balaagoh Al-Waadhihah karya Ali Al-Jaarim dan Mushthofa Amiin, hal 115-117)

Maksud dari ustadz abu salafy dengan pendalilan majaz 'aqliy di sini adalah  menyandarkan fi'il kepada sebab terjadinya fi'il, bukan kepada waktu atau tempat terjadinya fi'il. Karenanya ustadz Abu Salafy menjelaskan bahwasanya perkataan seseorang "Wahai Rasululullah sembuhkanlah aku" atau "Wahai wali fulan selamatkanlah aku, angkatlah musibahku" maksudnya adalah, "Yaa Allah sembuhkanlah aku, yaa Allah angkatlah musibahku".  Sebagaimana taktala kita berkata "Musim semi menumbuhkan tanaman" maksudnya "Allah menumbuhkan tanaman tatkala musim semi"

Oleh karenanya agar bisa tepat penerapan majaz aqliy di sini maka seorang yang beristighotsah kepada wali tatkala dalam kondisi genting maka dia harus meyakini bahwa wali tersebut merupakan sebab yang pasti untuk datangnya pertolongan Allah, maka ia harus memiliki tiga keyakinan:

-         Wali yang sudah mati ini bisa mendengar seruannya tatkala ia dalam keadaan genting dimanapun ia berada

-         Meyakini bahwa sang wali yang sudah mati ini mengetahui kondisi musibah yang sedang ia alami, karena jika sang wali tidak pasti tahu maka berarti sang wali bukanlah sebab.

-         Meyakini bahwasanya wali ini pasti memberi syafaat baginya di sisi Allah. Karena kalau tidak pasti maka berarti wali ini bukanlah sebab

Dan ketiga keyakinan ini 1)bahwa wali mendengar secara mutlaq, dan 2)sang wali memiliki ilmu yang mutlaq sehingga mengetahui musibah yang sedang dialaminya, dan 3)syafaat mutlaq (bahwasanya sang wali pasti memberi syafaat kepadanya) tidak diragukan lagi merupakan kesyirikan.

Kedelapan : Hukum asal dalam memahami sebuah perkataan adalah dibawa ke makna hakiki bukan ke makna majaz. Oleh karenanya para ulama balaghoh juga tidak membolehkan majaz 'aqli secara mutlaq digunakan, oleh karenanya mereka hanya menyebutkan sedikit contoh berupa syair-syair atau perkataan-perkataan yang beredar di masyarakat.

Jika kita mendengar sebuah perkataan "Musim semi menumbuhkan tanaman" maka –secara akal- kita akan paham bahwa maksud dari pengucap kata ini adalah "Allah menumbuhkan tanaman tatkala musim semi". Maka saya ingin bertanya secara jujur kepada abu salafy apakah tatkala seseorang berkata "Yaa Husain angkatlah musibah kami, wahai Husain sembuhkanlah aku, wahai Rasulullah sembuhkanlah aku" maksudnya adalah "Wahai Allah sembuhkanlah aku"??!!!, apakah Abu salafy memahami demikian??!!. Jangan-jangan yang mengucapkan "Abdul Qodir Jailani selamatkanlah aku" ia sendiri tidak paham apa itu majaz ''aqliy??!!.

Kesembilan : Apakah orang yang dalam keadaan genting kemudian mengucapkan "Wahai Abdul Qodir Jailani selamatkanlah aku" tatkala itu ketundukannya dan rasa pengharapannya sedang ia tujukan kemana??, kepada Allah semata??, ataukah juga kepada Abdul Qoodir jailaani??, bukankah inilah hakekat kesyirikan???

Bukankah Allah-lah yang menghilangkan kesulitan??

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS An-Naml : 62)

Kesepuluh : Taruhlah bahwasanya maksud seseorang tatkala berucap "Wahai Abdul Qodir Jailaani, tolonglah aku" maksudnya adalah berdoa kepada Abdul Qodir jailani agar memberi syafaat baginya di sisi Allah, agar Allah menolongnya. Bukankah inilah hakekat kesyirikan kaum musyrikin Arab?? (sebagaimana telah saya jelaskan di http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)

Kesebelas : Bukankah Rasulullah juga melarang lafal-lafal yang mengandung kesyirikan meskipun pengucapnya tidak berkeyakinan kesyirikan??

Renungkanlah hadits-hadits berikut ini

أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ

"Ada seorang yahudi mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Sesungguhnya kalian berbuat kesyirikan, kalian berkata : "Atas kehendak Allah dan kehendakmu", dan kalian berkata : "Demi Ka'bah". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka jika mereka hendak bersumpah hendaknya mereka berkata "Demi Robnya ka'bah", dan mereka berkata : "Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu" (HR An-Nasaai no 3782)

Dalam hadits ini orang yahudi saja mengerti bahwasanya bersumpah atas nama selain Allah adalah kesyirikan dan mengucapkan "Atas kehendakmu dan kehendak Allah" adalah kesyirikan. Dan hal ini diiqror (diakui) oleh Nabi dan Nabi tidak membiarkan para sahabat untuk tetap mengucapkan perkataan-perkataan tersebut karena majaz 'aqliy, tentunya para sahabat tidak meyakini ada pencipta selain Allah.

Kesyirikan lafal-lafal tersebut diperkuat dan dipertegas oleh Nabi.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ اللهُ، وَشِئْتَ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَجَعَلْتَنِي وَاللهَ عَدْلًا بَلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ "

Dari Ibnu Abbaas radhiallahu 'anhumaa ada seseorang berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : "Atas kehendak Allah dan kehendakmu". Maka Nabi shallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Apakah engkau menjadikan aku tandingan bagi Allah", akan tetapi "Atas kehendak Allah saja" (HR Ahmad 3/339 no 1839, Ibnu Maajah no 2117)

Nabi juga bersabda :

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

"Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka telah berbuat kesyirikan" (HR Ahmad 9/275 no 5375 dan Abu Dawud no 3253)

Kedua belas : Tidak diragukan lagi bahwasanya para sahabat dan juga para tabi'in banyak mengalami kondisi-kondisi yang genting, akan tetapi tidak seorangpun dari mereka yang kemudian beristigotsah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.



Peringatan :

Telah jelas Abu Salafy menyatakan bahwasanya barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah, meminta kepada wali yang sudah mati tidak akan terjerumus dalam kesyirikan selama tidak meyakini bahwa wali tersebut tidak ikut mencipta, mengatur alam semesta, dan ikut memberi rizki.

Abu salafy berkata ((Syirik adalah sudah jelas, ia menyekutukan Allah SWT. dalam:

A) Dzat, dengan meyakini ada tuhan slain Allah SWT.

B) Khaliqiya, dengan meyakini bahwa ada pencipta dan ada pelaku yang berbuat secara independen di alam wujud ini selain Allah SWT.

C) Rububiyah, dengan mayakini bahwa ada kekuatan selain Allah SWT yang mengatur alam semesta ini secara independen. Adapun keterlibatan selain Allah, seperti para malaikat, misalnya yang mengaturan alam adalah dibawah kendali Allah dan atas perintah dan restu-Nya….

F) Ibadah dan penyembahan, dengan menyembah dan bersujud kepada arca dan sesembahan lain selain Allah SWT, meminta darinya sesuatu dengan kayakinan bahwa ia mampu mendatangkannya secara independen dan dengan tanpa bantuan dan izin Allah SWT.

Batasan-batasan syirik, khususnya syirik dalaam ibadah dan penyembahan adalah sudah jelas dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dari ayat-ayat Al Qur’an yang mengisahkan kaum Musyrikin dapat dimengerti bahwa kendati kaum Musyrikin itu meyakini bahwa Allah lah yang mencipta langit dan bumi, pemberi rizki dan pengatur alam, akan tetapi tidak ada petunjuk bahwa mereka tidak meyakini bahwa sesembahan mereka itu; baik dari kalangan Malaikat maupun Jin memiliki pengaruh di dalam pengaturan alam semesta ini! Dengan pengaruh di luar izin dan kontrol Allah SWT. Mereka meyakini bahwa sesembahan mereka mampu menyembuhkan orang sakit, menolong dari musuh, menyingkap bencana dan kesusahan dll tanpa izin dan restu Allah!)) (http://abusalafy.wordpress.com/2008/05/31/kitab-kasyfu-asy-sybubuhat-doktrin-takfir-wahhabi-paling-ganas-23/))))

Coba para pembaca memperhatikan kembali perkataan Abu Salafy di atas, ia sangat menekankan kalimat "Independen", artinya yang namanya kesyirikan adalah jika seorang yang berdoa kepada selain Allah tersebut meyakini bahwa dzat yang ditujukan kepadanya doa tersebut berhak mengatur alam semesta secara independen dan tanpa idzin Allah. Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika seorang yang berdoa kepada Abdul Qodir Jailani meyakini bahwa Abdul Qodir Jailani juga ikut mengatur alam semesta namun dengan izin Allah, apakah ini bukan kesyirikan??!!. Dzohir dari perkataan Abu Salafy di atas ini bukanlah kesyirikan. Karena aqidah seperti ini menimpa sebagian kaum sufiyah, yang meyakini bahwasanya para wali ikut mengatur alam semesta dengan izin Allah.
Padahal inilah hakekat kesyirikan dalam rububiyyah, bahkan lebih parah dari kesyirikan kaum muysrikin Arab. Kalau kaum muysrikin Arab hanya menjadikan sesembahan mereka (baik orang sholeh maupun para malaikat) hanya sebagai washitoh/perantara dan pemberi syafaat dalam memenuhi kebutuhan mereka dan mengabulkan doa mereka, maka keyakinan bahwa para wali telah mendapatkan izin dari Allah untuk mengatur alam semesta lebih parah. Karena posisi para wali tatkala itu bukan lagi sebagai perantara, akan tetapi berhak untuk mencipta dan mengatur alam semesta atas kehendak mereka karena telah diberi hak otonomi oleh Allah. Inilah kesyirikan yang nyata.
Yang sangat disayang sebagian orang yang menjadikan rujukan Abu Salafy ternyata juga mendukung pemikiran seperti ini.

Lihatlah perkataan Muhammad Alwi Al-Maliki –salah seorang yang membenarkan kesyirikan dengan berdalih majaz 'aqliy-, ia berkata di kitabnya mafaahiim yajibu an tushohhah :

فَالْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلاَ يَمْلِكُ أَحَدٌ شَيْئاً إِلاَّ إِذَا مَلَّكَهُ اللهُ ذَلِكَ وَأَذِنَ لَهُ فِي التَّصَرُّفِ فِيْهِ

"Maka yang mengatur di alam semeseta adalah Allah subhaanahu wa ta'aala, dan tidak seorangpun memiliki sesuatupun kecuali jika Allah menjadikannya memilikinya dan mengizinkannya untuk mengaturnya"

Ia juga berkata tentang kondisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafatnya Nabi :

فَإِنَّهُ حَيِّيُ الدَّارَيْنِ دَائِمُ الْعِنَايَةِ بِأُمَّتِهِ، مُتَصَرِّفٌ بِإِذْنِ اللهِ فِي شُؤُوْنِهَا خَبِيْرٌ بِأَحْوَالِهَا

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memperhatikan umatnya, mengatur urusan umatnya dengan izin Allah dan mengetahui keadaan umatnya"

Seorang tokoh sufi besar yang bernama At-Tijaani memperkuat keyakinan ini.  Berkata penulis kitab Jawaahirul Ma'aani fi Faydi Sayyidi Abil 'Abaas At-Tiijaani (Ali Al-Faasi) :

"Adapun perkataan penanya : Apa makna perkataan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaani radhiallahu 'anhu : "Dan perintahku dengan perintah Allah, jika aku berkata kun (jadi) makan  (yakun) terjadilah" …dan juga perkataan sebagian mereka : "Wahai angin tenanglah terhadap mereka dengan izinku" dan perkataan-perkataan para pembesar yang lain radhiallahu 'anhum yang semisal ini, maka berkata (At-Tijaani) radhiallahu 'anhu : "Maknanya adalah Allah memberikan kepada mereka Khilaafah Al-'Udzma (kerajaan besar) dan Allah menjadikan mereka khalifah atas kerajaan Allah dengan penyerahan kekuasaan secara umum, agar mereka bisa melakukan di kerajaan Allah apa saja yang mereka kehendaki. Dan Allah memberikan mereka kuasa kalimat "kun", kapan saja mereka berkata kepada sesuatu "kun" (jadilah) maka terjadilah tatkala itu" (Jawaahirul Ma'aani wa Buluug Al-Amaani 2/62)

Hal ini juga dikatakan oleh tojoh sufi zaman kita yang bernama Habib Ali Al-Jufri, ia berkata bahwasanya wali bisa menciptakan bayi di rahim seorang wanita tanpa seorang ayah dengan izin Allah (silahkan lihat http://www.youtube.com/watch?v=kDPMBJ7kvfI)

Jika ternyata keyakinan bahwasanya wali ikut mengatur alam semesta dan mengatur manusia ternyata diyakini oleh pembesar-pembesar sufi tentunya hal ini disebarkan juga di masyarakat, jika perkaranya demikian maka sangatlah mungkin jika orang-orang yang tatkala terkena musibah atau dalam kondisi genting kemudian berkata, "Wahai Rasulullah selamatkanlah aku", atau "Wahai Abdul Qodir Jailaani sembuhkanlah aku" mereka mengucapkan ungkapan-ungkapan istigotsah ini dengan berkeyakinan bahwasanya Rasulullah dan Abdul Qodir Jailaani bisa langsung menolong mereka dengan idzin Allah. Sehingga tidak perlu adanya majaz 'aqli..!!!



Bersambung…

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 16-03-1432 H / 19 Februari 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
baca selanjutnya »»