Rabu, 16 Januari 2013

Masya Allah. Bayi lahir dengan air ketuban yang tidak pecah


 

Melahirkan dengan kantung ketuban utuh disebut "kelahiran terselubung." Hal ini sangat jarang tapi mungkin. Hal ini kurang menyakitkan karena air bantal kepala bayi, tidak akn menyebabkan memar pada ibu. Jangan khawatir walau bayi ini tenggelam, ia tidak akan mengambil napas pertama sampai ia / dia memukul udara untuk pertama kalinya, dan plasenta akan terus menyediakan oksigen sampai itu terjadi.

, Maha Kuasa Allah ...
baca selanjutnya »»  

Selasa, 15 Januari 2013

POSISI TANGAN APABILA BERDIRI SETELAH RUKU' DI DALAM SHOLAT

Dimana posisi tangan apabila berdiri setelah ruku' di dalam sholat ?

Bersedekap kembali setelah bangkit dari ruku' adalah suatu hal yang mungkin sedikit terasa janggal dilakukan oleh kita yang sudah terbiasa meluruskan tangan atau menjulurkan tangan ke bawah setelah bangkit dari ruku'. Apalagi kebiasaan tersebut  mungkin sudah puluhan tahun kita lakukan karena melihat kepada orang-orang disekitar kita yang telah melakukan hal yang sama. Namun, bagaimana sih sebenarnya dalil bagi mereka yang meluruskan dan bagi mereka yang bersedekap kembali ? Setelah diteliti, sebenarnya mereka yang bersedekap kembali memiliki dalil yang kuat, sedangkan yang meluruskan tangan tidak ada sebuah dalilpun yang mendukung perbuatan tersebut, padahal beribadah seharusnya ada dalil. Silahkan dibaca pembahasan di bawah ini beserta gambarnya.




















--------------------------------------------------------------

Bismillahirrahmanirrahim


أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ مُوسَى بْنِ عُمَيْرٍ الْعَنْبَرِيِّ وَقَيْسِ بْنِ سُلَيْمٍ الْعَنْبَرِيِّ قَالَا حَدَّثَنَا عَلْقَمَةُ بْنُ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ

"Aku melihat rasulullah apabila berdiri di dalam sholat menggenggam tangan kanannya pada tangan kirinya"(HR. An-Nasa'i, Kitab "al Iftitaah", bab "Wadh'ul Yumnaa 'Alasy Syimaal fish Shalaah no. 877. dan sanadnya dinilai shahih oleh al-Albani di dalam kitab Shahiih Sunanin Nasai (I/193)

حَدَثنََاعَبْدُ الله بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ
كَانَ النَّاسُ يُؤْ مَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ اليَدَ اليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ اليُسْرَى فِى الصَّلاَةِ

"Orang-orang diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya di dalam shalat".( HR. Bukhari, dalam Bab Meletakkan Tangan Kanan di atas Tangan Kiri. Juz I Hal. 180)

Ada 3 kata kunci yang terkandung di dalam hadits di atas;
1. Tangan (bagaimana posisi tangan di dalam sholat?, silahkan di lihat gambar-gambar di atas)
2. Apabila berdiri (di dalam sholat) artinya apabila hanya pada posisi berdiri
3. Di dalam sholat ( pengertiannya tentunya bukan di luar sholat)

Berdiri yang dimaksud dalam hadits di atas (HR. Nasa'i) adalah, berdasarkan keumuman pada arti kondisi berdiri di dalam shalat. Posisi berdiri di dalam shalat ada 3 tempat ;

1. Posisi berdiri setelah takbiratul ihram ( posisi awal ),
2. Posisi berdiri i'tidal setelah ruku' ( kembali ke posisi awal ),
3. Posisi berdiri setelah bangkit dari sujud ( kembali ke posisi awal )

Menggenggam tangan kanannya pada tangan kirinya, maksudnya adalah bersedekap. Meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya (HR. Bukhari), tidak ada tempat lain di dalam shalat kecuali pada posisi berdiri di dalam shalat.

Adapun posisi berdiri dan melepaskan tangan lurus ke bawah sebelum takbiratul ihram adalah posisi dimana ibadah sholat belum dimulai. Sholat baru dimulai ketika sudah melakukan takbiratul ihram. Shalat dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Ketika sudah takbiratul ihram, maka sesuai dengan keterangan hadits adalah meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri (bersedekap).

Perhatikan gambar-gambar di atas. Posisi tangan sangat jelas ketika di dalam sholat.

1. Setelah takbiratul ikhram posisi bersedekap.
2. Ketika ruku' posisi tangan di atas lutut.
3. Ketika sujud posisi tangan di atas lantai atau tanah.
4. Ketika duduk posisi tangan di atas paha atau lutut.

Sampai saat ini saya belum menemukan keterangan hadits yang memerintahkan agar meluruskan atau menjuntaikan tangan lurus ke bawah. Saya hanya menemukan keterangan hadits yang memerintahkan agar meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) ketika berdiri di dalam sholat, sebagaimana hadist di atas. Mungkin di antara pembaca sudah ada yang menemukan hadits yang memerintahkan agar menjuntaikan tangan ketika bangkit dari ruku'. Silahkan di share ilmunya.

Untuk sementara ini saya menemukan bahwa mazhab Syafi'iyah yang agak lebih konsen dalam memperhatikan hal ini, sebagaiman termaktub dalam buku-buku fiqh mereka.

Yang afdhal bagi imam atau makmum atau orang yang shalat sendirian adalah meletakkan tangan kanan mereka masing-masing di atas tangan kiri di atas dadanya setelah berdiri dari ruku'. (Ensiklopedi Shalat, Menurut al Qur'an dan Sunnah. Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al Qahthani, Pustaka Imam Asy-Syafi'i. hal. 269 dan 291)






"Kembali bersedekap waktu bangun dari ruku' setelah mengangkat tangan lebih utama daripada melepaskan tangan lurus kebawah lalu baru mulai bersedekap lagi." (Kitab "Fathul Muin" jilid 1 [Mazhab Syafi'i] terjemahan hal. 119)







ثم الاعتدال الواجب ان يعود بعد ركوعه الي الهيئة التى كان عليها قبل ا لركوع سواء صلاها قائما او قاعدا
"Kemudian I'tidal yang wajib ialah setelah melakukan ruku' sampai kembali ke posisi sikap sebelum ruku'. (Kitab "Kifayatul Ahyar" [Mazbab Syafi'i] terjemahan hal. 131). Penerbit AL-RIDHA Semarang. Atau silahkan dilihat pada halaman. 241 pada buku Kifayatul Ahkhyar (Kelengkapan Orang Shalih). Bagian Pertama. Penerbit "Bina Iman" Surabaya.
*Posisi sikap sebelum ruku' = tangan bersedekap, bukan meluruskannya atau menjuntaikannya ke bawah



-------------------------------------------------

I'tidal tidak hanya dilakukan pada posisi dalam keadaan berdiri setelah ruku'. Ini adalah keterangan beberapa hadits tentang i'tidal pada waktu ruku' dan sujud.


Di dalam Hadits Riwayat Bukhari.

باب لاَ يَفْتَرِشُ ذِرَاعَيْهِ فِى السُّجُودِ


822 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « اعْتَدِلُوا فِى السُّجُودِ، وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
*) I'tidal di dalam sujud

Di dalam Hadits Riwayat Muslim.


- باب الاِعْتِدَالِ فِى السُّجُودِ وَوَضْعِ الْكَفَّيْنِ عَلَى الأَرْضِ وَرَفْعِ الْمِرْفَقَيْنِ عَنِ الْجَنْبَيْنِ وَرَفْعِ الْبَطْنِ عَنِ الْفَخِذَيْنِ فِى السُّجُودِ. (45)
- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اعْتَدِلُوا فِى السُّجُودِ وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ ».
46 - باب ما يجمع صفة الصلاة وما يفتتح به ويختم به وصفة الركوع والاعتدال منه والسجود والاعتدال منه والتشهد بعد كل ركعتين من الرباعية وصفة الجلوس بين السجدتين وفي التشهد الأول
233 - ( 493 ) حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا وكيع عن شعبة عن قتادة عن أنس قال
: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم اعتدلوا في السجود ولا يبسط أحدكم ذراعيه انبساط الكلب
[ ش ( ولا يبسط انبساط ) قال النووي هذان اللفظان صحيحان وتقديره ولا يبسط ذراعيه فينبسط انبساط الكلب وكذا اللفظ الآخر ولا يتبسط ذراعيه انبساط الكلب ومثله قول الله تعالى والله أنبتكم من الأرض نباتا وقوله فتقبلها ربها بقبول حسن وأنبتها نباتا حسنا ومعنى يتبسط يتخذهما بساطا ]
*) I'tidal di dalam sujud

( 471 ) وحدثنا حامد بن عمر البكراوي وأبو كامل فضيل بن حسين الجحدري كلاهما عن أبي عوانة قال حامد حدثنا أبو عوانة عن هلال بن أبي حميد عن عبدالرحمن بن أبي ليلى عن البراء بن عازب قال
: رمقت الصلاة مع محمد صلى الله عليه و سلم فوجدت قيامه فركعته فاعتداله بعد ركوعه فسجدته فجلسته بين السجدتين فسجدته فجلسته ما بين التسليم والانصراف قريبا من السواء
[ ش ( رمقت ) أي أطلت النظر إليها ( قريبا من السواء ) أي من التساوي والتماثل وانتصابه على أنه مفعول ثان لوجدت ومعناه كان أفعال صلاته كلها متقاربة وليس المراد أنه كان يركع بقدر قيامه وكذا السجود والقومة والجلسة بل المراد أن صلاته كانت
معتدلة فكان إذا أطال القراءة أطال بقية الأركان وإذا خففها خفف بقية الأركان ]

Dalam hadits riwayat Tirmidzi No. 1039.

1039- أخبرنا محمد بن بشار قال حدثنا يحيى قال حدثنا عبد الحميد بن جعفر قال حدثني محمد بن عمرو بن عطاء عن أبي حميد الساعدي قال : كان النبي صلى الله عليه و سلم إذا ركع اعتدل فلم ينصب رأسه ولم يقنعه ووضع يديه على ركبتيه
قال الشيخ الألباني : صحيح
*) I'tidal di dalam ruku'

Dalam hadits riwayat An- Nasa'i No. 1028.

1028- أخبرنا سويد بن نصر قال أنبأنا عبد الله بن المبارك عن سعيد بن أبي عروبة وحماد بن سلمة عن قتادة عن أنس عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : اعتدلوا في الركوع والسجود ولا يبسط أحدكم ذراعيه كالكلب
قال الشيخ الألباني : صحيح
*) I'tidal di dalam ruku' dan dalam sujud

---------------------------------------------------

KRITIK TERHADAP PENDAPAT SYAIKH NASHIRUDDIN AL - ALBANI MENGENAI BID'AHNYA BERSEDEKAP SETELAH BANGKIT DARI RUKU'

Pernyataan beliau :

1. Adapun sebagian ulama Hijaz dan lain-lain yang menjadikan Hadits ini sebagai alasan bersedekap ketika berdiri I'tidal adalah hal yang sangat menyimpang.

2. Sungguh ini adalah penetapan hukum yang keliru sebab bersedekap semacam itu sama sekali tidak disebutkan oleh hadits manapun ketika menyebutkan berdiri pertama.

3. Saya tidak ragu lagi menyatakan bahwa bersedekap ketika berdiri I'tidal adalah perbuatan bid'ah yang sesat.

Tanggapan :

1. Beliau (Albani) keliru, dan menyebutkan bahwa ulama Hijaz bersandar pada hadits:

وكان يأمر بالاطمئنان فيه فقال ل ( المسيء صلاته ) :
( البخاري ومسلم ) ( ثم ارفع رأسك حتى تعتدل قائما [ فيأخذ كل عظم مأخذه ] ( وفي رواية : ( وإذا رفعت فأقم صلبك وارفع رأسك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها )

Beliau memerintahkan agar tuma'ninah ketika I'tidal. Beliau bersabda kepada sahabat yang keliru dalam shalatnya, "Lalu angkatlah kepalamu hingga engkau berdiri tegak lurus [dan masing-masing ruas tulang menempati tempatnya]."

Padahal ulama Hijaz tidak bersandar pada hadits itu, tapi bersandar pada hadits :

1- رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ
قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ
a."Aku melihat rasulullah apabila berdiri di dalam sholat menggenggam tangan kanannya pada tangan kirinya"

كَانَ النَّاسُ يُؤْ مَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ اليَدَ اليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ اليُسْرَى فِى الصَّلاَةِ -
b."Orang-orang diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya di dalam shalat".


2. Beliau menafikan dua hadits di atas, dengan mengatakan : "bersedekap semacam itu sama sekali tidak disebutkan oleh hadits manapun ketika menyebutkan berdiri pertama". Sedangkan kita ketahui dengan jelas bahwa kedua hadits di atas adalah penjelasan adanya perintah bersedekap apabila berdiri di dalam shalat. Sedangkan beliau sendiri (Syaikh Albani) mengatakan: "Bahwa dengan meletakkan tangan kanan pada bagian punggung tangan kiri, pada pergelangan dan lengan kiri dengan sendirinya akan meletakkan kedua tangan anda pada bagian dada atau dekat dengan dada. Jadi kesimpulannya, meletakkan tangan kanan pada tangan kiri sebagai amalan yang sunnah bukan dengan membiarkan kedua tangan menjulur tergantung, juga tempat yang sunnah untuk meletakkan kedua tangan tersebut adalah pada bagian dada bukan pada bagian yang lainnya." (silahkan baca buku beliau pada catatan kaki dalam Bab Meletakkan Kedua Tangan (Bersedekap) di atas dada, dan untuk hadits-hadits tentang bersedekap silahkan melihat lampiran)


3. Saya mengutip penjelasan dari Syaikh bin Baz dalam buku beliau "Tiga Risalah Shalat" hal. 51 Penerbit Al Qolam, beliau mengatakan: Keyakinannya (Syaikh Albani; maksudnya) bahwa "Saya tidak ragu lagi menyatakan bahwa bersedekap ketika berdiri I'tidal adalah perbuatan bid'ah yang sesat", adalah keliru. Tidak seorangpun di antara para ahli ilmu yang berkeyakinan seperti itu, sejauh yang kami ketahui. Keyakinan itu juga bertentangan dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di muka. Saya bukan meragukan keilmuannya, kelebihannya, keluasan bacaannya, dan perhatiannya terhadap sunnah, semoga Allah menambahkan ilmu dan taufiq kepadanya, tetapi ia telah keliru dalam masalah ini. Kekeliruannya jelas sekali. Sedangkan semua ulama itu bisa diambil atau ditinggalkan pendapatnya. Sebagaimana perkataan Imam Malik bin Anas : "Tidak ada seorangpun di antara kita kecuali bisa menolak dan ditolak, kecuali penghuni kuburan ini (maksudnya adalah Nabi)."Demikian pula perkataan para ulama sebelum dan sesudah beliau. Ini bukan berarti mengurangi penghormatan kepada mereka atau menjatuhkan kedudukan mereka. Sebaliknya, mereka dalam hal ini mendapatkan satu pahala atau dua pahala sebagaimana disebutkan dalam sunnah yang sahih : "Bila ijtihadnya benar; maka ia memperoleh dua pahala. Apabila keliru, maka ia memperoleh satu pahala.

Wallahu a'lam.
Anwar Baru Belajar
baca selanjutnya »»  

Minggu, 13 Januari 2013

HUKUM GAMBAR

HUKUM GAMBAR



Syaikh ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân hafizhahullâhu ditanya tentang hukum gambar, maka beliau hafizhahullâhu menjawab:

Masalah ini ada perinciannya. Para ulama bersepakat akan keharaman gambar (makhluk hidup yang dibuat) oleh tangan, sebagaimana mereka juga bersepakat akan haramnya gambar-gambar yang berfisik (jism) dan patung-patung. Inilah yang disepakati oleh para ulama (keharamannya) dan banyak nash-nash yang secara tegas menunjukkan (akan keharaman) gambar-gambar yang telah ada semenjak zaman nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

Adapun gambar-gambar yang ada di zaman ini, maka terbagi menjadi dua: yaitu gambar fotografi dan gambar video.

Adapun yang pertama (yaitu fotografi) maka para ulama ahlus sunnah bersepakat akan haramnya menggantungkan gambar-gambar foto dan hukumnya sama dengan hukum gambar yang dihasilkan dari gambar tangan yang digantung. Sebab, keserupaan hasil dari gambar yang dibuat oleh tangan sama dengan gambar yang dihasilkan oleh kamera.

Adapun selain itu (yaitu selain digantung), maka para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang menyamakan antara gambar foto dengan gambar tangan, yaitu hukumnya haram secara mutlak, kecuali pada keadaan tertentu yang mendesak (yang tidak bisa dihindarkan, seperti KTP, SIM, Paspor, dls, pent.).

Sebagian lagi berpendapat bahwa hukum foto tidak sama dengan hukum gambar tangan, selama tidak diagungkan. Jika diagungkan, maka haram hukumnya. Mereka berargumentasi bahwa gambar fotografi itu tidak ada unsur penciptaan dan menggambar manusia di dalamnya, namun hanyalah memindahkan obyek suatu benda dan menempatkannya (di tempat lain), yang serupa dengan gambar pada cermin, di mana apabila tampak gambar manusia di dalamnya, tidak ada yang mengatakan bahwa gambar tersebut haram hukumnya. Sebab, tidak ada unsur penciptaan makhluk Allah di dalamnya. Keserupaan akan terjadi apabila manusia masuk ke dalam penciptaan makhluk Allah, namun dalam kondisi ini (yaitu fotografi) tidak sama dengan penciptaan makhluk Allah. Walau demikian, tidak disukai dan dianjurkan bagi seseorang untuk memperbanyak suatu hal yang tidak begitu dibutuhkan olehnya.

Adapun gambar-gambar di kamera televisi, maka saya tidak tahu ada seorang pun dari guru-guru kami yang menfatwakan keharamannya. Sisi pandang argumentasinya adalah, bahwa hal ini tidak dianggap sebagai gambar kecuali di saat menyaksikannnya, kemudian hal ini hanyalah memindahkan (obyek) hidup di saat kejadian dan tidak termasuk gambar yang dilarang oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

(Ditranskrip secara bebas dari Liqo`ul Maftuh Syaikh al-‘Ubailân)

Berikut adalah beberapa tanya jawab yang yang ana kutip dari kolom tanya jawab yang ada di bawah catatan di atas:

Ditanya oleh anmuslim:

"salamu’alaikum, afwan akh an mo nany klo penggunaan foto untuk di fs ato di fb sbagai tanda pengenal bg tmn2 lama apakah diperbolehkan? syukron. jazakallohu khoiroUstadz."

Ustadz Abu Salma menjawab:

Wa’alaikum Salamun. Kembali lagi ke masalah status gambar foto, hal ini diperselisihkan oleh ahli ilmu. Sebagian mengharamkan secara mutlak dan sebagian lagi memperbolehkannya. Apabila anda merajihkan pendapat yg memperbolehkan dan menganggap hasil gambar/foto di dalamnya bukanlah tmsk gambar yg diharamkan, maka hukum asalnya mubah. Kecuali, apabila ada unsur yg merubah status hukum asalnya menjadi haram, seperti memasang gambar yg dapat menimbulkan fitnah, gambar wanita, atau gambar yg dikhawatirkan akan ada unsur kultus/ta’zhim, atau memajangnya, dls. Sekali lagi ini masalah khilafiyah ijtihadiyah, bukan masalah manhajiyah seperti yg didengangdengungkan oleh sebagian orang yang ghuluw… Wallohu a’lam

Ditanya oleh maramis setiawan:

mas….bagaimana kalo foto digital? hanya disimpan dalam memory…..atau komputer, tanpa dicetak. Bagaimana juga dengan upload gambar makluk hidup di website?

Ustad Abu Salma menjawab:

Sebagaimana dipaparkan oleh Syaikh al-Muhaddits al-’Ubailan, bahwa masalah hukum gambar foto diperdebatkan oleh para ulama, antara yg mengharamkan dan memperbolehkan. Yang mengharamkan menganggap gambar foto, video, tv atau lain sebagainya termasuk bab penciptaan makhluk hidup, sedangkan yg memperbolehkan menganggap tdk ada unsur penciptaan di dalamnya, kecuali hanya memindahkan bayangan obyek saja. Hal ini seperti gambar pada cermin, atau fotokopi. Tidak ada unsur menggambar makhluk baru di dalamnya, dan inilah yang diperpegangi oleh Faqihuz Zaman al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu. Apabila antum termasuk yang merajihkan haram, maka haram hukumnya. Namun, apabila antum lebih merajihkan yg memperbolehkan, maka boleh hukumnya, dan hendaknya tdk memperbanyak hal ini sebab termasuk hal yg kurang bermanfaat dan tidak dicetak dan digantung di dalam rumah. Wallohu a’lam.

Sumber: http://abusalma.wordpress.com/2009/03/31/transkrip-video-hukum-gambar/

Semoga kita termasuk di antara hamba-hamba Allah Ta'ala yang bisa berlapang dada di dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah foto dan tidak saling memaksakan pendapat yang diikutinya kepada saudara-saudaranya yang lain.

Semoga bermanfaat...

-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman ,pada 11 Januari 2012 pukul 13:30
baca selanjutnya »»  

Sabtu, 12 Januari 2013


TEKA-TEKI PEMBUNUH AL-HUSAIN bin ‘ALIY RADLIYALLAAHU ‘ANHUMA AKHIRNYA TERJAWAB
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 17:31
Label: Syi'ah


Mayoritas orang Syi’ah masa sekarang mengatakan bahwa yang membunuh Al-Husain bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa adalah Yaziid bin Mu’aawiyyah rahimahullah. Dialah yang memerintahkan untuk membunuh Al-Husain radliyallaahu ‘anhu. Itulah khabar yang beredar dari mulut ke mulut, dari dulu hingga sekarang, dan akhirnya masuk ke telinga orang yang paling bodoh di kalangan mereka. Dogma pun muncul : Orang-orang Syaam/Bani Umayyah adalah pembunuh Al-Husain, sehingga pantas menjadi musuh Ahlul-Bait. Bani Umayyah = Ahlus-Sunnah = Wahabiy. Meski telah menjadi dogma, ternyata keliru. Bukan orang Syaam yang menjadi pembunuh Al-Husain radliyallaahu ‘anhu. Lalu, siapakah yang membunuh Al-Husain ?. Berikut perkataan Ahlul-Bait dan para ulama Syi’ah yang ada dalam kitab-kitab mereka :
‘Aliy bin Al-Husain bin 'Aliy bin Abi Thaalib rahimahullah
‘Aliy bin Al-Husain bin Abi Thaalib berkata saat mengecam pengkhianatan para pengikutnya yang membunuh Al-Husain radliyallaahu ‘anhu :
أيها الناس نشدتكم بالله هل تعلمون أنكم كتبتم إلى أبي وخدعتموه، وأعطيتموه العهد والـميثاق والبيعة وقاتلتموه وخذلتموه، فتبا لـما قدمتم لأنفسكم، وسوأة لرأيكم، بأية عين تنظرون إلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم إذ يقول لكم قتلتم عترتي وانتهكتم حرمتي فلستم من أمتي.
فارتفعت أصوات النساء بالبكاء من كل ناحية، وقال بعضهم لبعض هلكتم وما تعلمون
“Wahai sekalian manusia, kami bersumpah dengan menyebut nama Allah kepada kalian untuk bertanya, apakah kalian tahu bahwa kalian dulu pernah menulis kepada ayahku (Al-Husain) lalu kalian ternyata menipunya ?. Kalian dulu berjanji memberikan kesetiaan dan baiat, namun ternyata kemudian kalian malah memeranginya dan meninggalkannya ?. Sungguh celaka apa yang telah kalian lakukan pada diri kalian. Sungguh jelek pikiran kalian. Dengan mata yang mana kalian akan melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam kelak ketika beliau bersabda kepada kalian : ‘Kalian telah membunuh keturunanku dan menodai kehormatanku. Kalian bukanlah termasuk umatku’”.
Maka bergemuruhlah suara para wanita yang menangis di segala penjuru. Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain : ‘Binasalah kalian dan apa yang kalian ketahui”.
‘Aliy bin Al-Husain ‘alaihis-salaam berkata :
رحم الله امرءا قبل نصيحتي، وحفظ وصيتي في الله ورسوله وأهل بيته فإن لنا في رسول الله أسوة حسنة....
فقالوا بأجمعهم: نحن كلنا سامعون مطيعون حافظون لذمامك غير زاهدين فيك ولا راغبين عنك، فمرنا بأمرك يرحمك الله، فإنا حرب لحربك، وسلم لسلمك، لنأخذن يزيد ونبرأ ممن ظلمك وظلمنا،،
“Semoga Allah merahmati seseorang yang menerima nasihatku, menjaga wasiatku yang berkaitan dengan Allah, Rasul-Nya, dan Ahlul-Baitnya. Sesungguhnya kami dalam diri Rasulullah adalah suri tauladan yang baik...”. Mereka semua berkata : “Kami semua akan mendengar, mentaati, dan menjaga kehormatanmu tanpa meninggalkanmu dan berpaling darimu. Maka, perintahkanlah kami, semoga Allah merahmatimu. Dan kami akan berperang karena peperanganmu, dan kami pun akan berdamai karena perdamaianmu. Kami benar-benar akan membawa Yaziid, dan berlepas diri dari orang yang mendhalimimu dan mendhalimi kami…”.
‘Aliy bin Al-Husain ‘alaihis-salaam berkata :
هيهات هيهات أيها الغدرة الـمكرة حيل بينكم وبين شهوات أنفسكم، أتريدون أن تأتوا إلي كما أتيتم آبائي من قبل؟ كلا ورب الراقصات فإن الجرح لـما يندمل، قتل أبي بالأمس وأهل بيته معه، ولم ينسني ثكل رسول الله صلى الله عليه وسلم وآله وثكل أبي وبني أبي ووجده بين لهاتي ومرارته بين حناجري وحلقي وغصته تجري في فراش صدري
“Betapa jauh, betapa jauh wahai para pengkhianat lagi penipu. Kalian hanyalah mementingkan syahwat diri kalian saja. Apakah kalian akan datang kepadaku sebagaimana dulu kalian datang pada ayah-ayahku (lantas kalian berkhianat) ?. Sekali-kali tidak, demi Allah yang menciptakan onta-onta. Sesungguhnya luka lama belumlah kering. Ayahku dan keluarganya baru terbunuh kemarin. Dan aku belumlah lupa kematian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi. Begitu juga kematian ayahku dan anak-anak ayahku. Peristiwa itu masih ada dalam ingatanku. Rasa pahit masih terasa di tenggorokanku dan kerongkonganku. Kesedihan itu masih bergemuruh dalam dadaku” [Khuthbah ini disebutkan oleh Ath-Thibrisiy dalam Al-Ihtijaaj 2/32, Ibnu Thaawuus dalam Al-Majhuuf hal. 92, Al-Amiin dalam Lawaa’ijul-Asyjaan hal. 158, ‘Abbaas Al-Qummiy dalam Muntahal-Aamaal 1/572, Husain Kuuraaniy dalam Rihaab Karbalaa’ hal. 183, ‘Abdurrazzaaq Al-Muqrim dalam Maqtal Al-Husain hal. 317, Murtadlaa ‘Ayyaad dalam Maqtal Al-Husain hal. 87 dan diulang oleh ‘Abbaas Al-Qummiy dalam Nafsul-Mahmuum hal. 360. Disebutkan juga oleh Ridlaa Al-Qazwiiniy dalam Tudhlamuz-Zahraa’ hal. 262].
Ketika Al-Imaam Zainul-‘Aabidiin radliyallaahu ‘anhu berjalan dan melihat penduduk Kuufah sedang meratap dan menangis, maka ia mencelanya dan berkata :
تنوحون وتبكون من أجلنا فمن الذي قتلنا؟
“Kalian ini meratap dan menangis karena kami. Memangnya siapa yang membunuh kami ?” [Al-Malhuuf hal. 86, Nafsul-Mahmuum hal. 357, Maqtal Al-Husain oleh Murtadlaa ‘Abbaas hal. 83 Cet. 4/1996 M, dan Tudhlamuz-Zahraa’ hal. 257].
Ummu Kultsum bintu ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhaa
Ia berkata :
يا أهل الكوفة سوأة لكم، ما لكم خذلتم حسينا وقتلتموه، وانتهبتم أمواله وورثتموه، وسبيتم نساءه، ونكبتموه، فتبا لكم وسحقا لكم، أي دواه دهتكم، وأي وزر على ظهوركم حملتم، وأي دماء سفكتموها، وأي كريمة أصبتموها، وأي صبية سلبتموها، وأي أموال انتهبتموها، قتلتم خير رجالات بعد النبي صلى الله عليه وآله، ونزعت الرحمة من قلوبكم
“Wahai penduduk Kuufah, betapa jeleknya kalian. Kenapa kalian meninggalkan Husain lalu kalian membunuhnya ?. Kalian rampas harta-hartanya lalu mewarisinya, menawan wanita-wanitanya dan menyusahkannya ?. Sungguh celaka kalian, dan semoga kalian jauh dari rahmat Allah !. Musibah apa yang menimpa kalian, dosa apa yang kalian pikul di punggung kalian, darah siapa yang telah kalian alirkan, istri siapa yang telah kalian tawan, anak perempuan siapa yang telah kalian rampok, dan harta-harta siapakah yang telah kalian rampas ?. Kalian telah membunuh sebaik-baik laki-laki setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi. Rasa kasih sayang telah dicabut dari hati-hati kalian” [Al-Malhuuf hal. 91, Nafsul-Mahmuum hal. 363, Maqtal Al-Husain oleh Al-Muqrim hal. 316, Lawaa’ijul-Asyjaan hal. 157, Maqtal Al-Husain oleh Murtadlaa ‘Iyaadl hal. 86, dan Tudhlamuz-Zahraa’ oleh Ridlaa bin Nabiy Al-Qazwiiniy hal. 261].
Zainab bintu ‘Aliy radliyallaahu ‘anhaa
Ia berkata :
صه يا أهل الكوفة تقتلنا رجالكم وتبكينا نساؤكم فالحاكم بيننا وبينكم الله يوم فصل القضاء
“Diamlah wahai penduduk Kuufah !! Laki-laki kalian telah membunuh kami, sedangkan para wanita kalian menangisi kami. Antara kami dan kalian adalah Allah pada hari penghakiman (hari kiamat)” [Dinukil oleh ‘Abbaas Al-Qummiy dalam Nafsul-Mahmuum hal. 365. Disebutkan juga oleh Asy-Syaikh Ridlaa bin Nabiy Al-Qazwiiniy dalam Tudhlamuz-Zahraa’ hal. 264].
Murtadlaa Al-Muthahhariy
Ia berkata :
ولا ريب في أن الكوفة كانوا من شيعة علي وأن الذين قتلوا الإمام الحسين هم شيعته
“Dan tidak ragu lagi bahwa penduduk Kuufah merupakan syi’ah (pendukung) ‘Aliy, dan yang membunuh Al-Imaam Al-Husain adalah syi’ah (pendukung)-nya sendiri” [Malhamatul-Husainiyyah, 1/129].
فنحن سبق أن أثبتنا أن هذه القصة مهمة من هذه الناحية وقلنا أيضا: بأن مقتل الحسين على يد الـمسلمين بل على يد الشيعة بعد مضي خمسين عاما فقط على وفاة النبي لأمر محير ولغز عجيب وملفت للغاية
“Dan kami mendahului dalam menetapkan bahwa kisah ini penting dari sisi ini. Dan kami juga berkata : Bahwasannya pembunuhan Al-Husain adalah di tangan kaum muslimin, bahkan di tangan Syi’ah sendiri setelah berlalu 50 tahun pasca wafatnya Nabi. Sungguh, ini adalah perkara yang membingungkan, teka-teki yang mengherankan, dan menarik perhatian” [idem, 3/94].
Abul-Jauzaa’ berkata :
Ya,… penduduk Kuufah adalah yang mengkhianati dan sekaligus membunuh Al-Husain bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa. Tidaklah mengherankan, karena sebelumnya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu telah mengingatkan akan sifat khianat dan lancung para syi’ah-nya dari penduduk Kuufah ini dengan perkataannya :
ولقد أصبحت الأمم تخاف ظلم رعاتها، وأصبحت أخاف ظلم رعيتي. استنفرتكم للجهاد فلم تنفروا، وأسمعتكم فلم تسمعوا، ودعوتكم سرا وجهرا فلم تستجيبوا، ونصحت لكم فلم تقبلوا
………………
يا أهل الكوفة، منيت منكم بثلاث واثنتين: صم ذوو أسماع، وبكم ذوو كلام، وعمي ذوو أبصار، لا أحرار صدق عند اللقاء، ولا إخوان ثقة عند البلاء! تربت أيديكم يا أشباه الابل غاب عنها رعاتها! كلما جمعت من جانب تفرقت من آخر
“Sungguh, umat-umat terdahulu khawatir akan kedhaliman pemimpinnya, akan tetapi aku malah khawatir akan kedhaliman rakyatku. Aku ajak kalian berangkat berjihad , namun kalian enggan berangkat. Aku ingin bicara pada kalian, namun kalian tidak mau mendengarnya. Aku ajak kalian untuk kebaikan baik secara sembunyi maupun terang-terangan, namun kalian tidak menyambutnya. Aku nasihati kalian, namun kalian tidak menerimanya.
……..
Wahai penduduk Kuufah, aku diuji (Allah) dari kalian dalam 3 perkara dan 2 perkara : (kalian) tuli tapi punya pendengaran, bisu tapi punya perkataan, dan buta tapi punya penglihatan. Juga tidak mempunyai orang yang pemberani ketika berhadapan dengan musuh, dan tidak mempunyai orang kepercayaan ketika tertimpa musibah. Celakalah kalian wahai orang yang menyerupai onta yang kehilangan penggembalanya ! Setiap kali digiring dari satu sisi, ia lari dari sisi yang lain” [Nahjul-Balaaghah, 1/187-189].
Jadi, kalau kita sekarang melihat orang Syi’ah bersedih dan memukul-mukul badan setiap hari ‘Aasyuuraa (10 Muharram, tanggal kematian Al-Husain bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa), barangkali asal muasalnya karena menyesali kelakukan bejat nenek moyang mereka dari penduduk Kuufah yang suka berkhianat. Tapi orang-orang bodohnya kemudian memahami perbuatan pukul-memukul badan itu sebagai bentuk kesedihan atas kematian Al-Husain radliyallaahu ‘anhu. Sungguh ironis !!

Video yang lebih banyak silakan lihat di sini.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai – 06012012 – 17:25 – banyak mengambil faedah dari tulisan yang ada di : http://www.dd-sunnah.net/forum/showthread.php?t=140519].

baca selanjutnya »»  

CARA MEMAHAMI DAN MENGAMALKAN ISLAM DENGAN BENAR



   

CARA MEMAHAMI DAN MENGAMALKAN ISLAM DENGAN BENAR
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz
ecpo.blogdetik.com
Bingung, pusing, heran, itulah yang dirasakan kalau memikirkan banyaknya kelompok dalam Islam.  Bagaimana bisa berbeda dan berpecah belah, padahal katanya sama-sama berpegang teguh pada Al-Quran dan Al-Hadits. Koq bisa beda dalam memberikan jawaban dan menyikapi permasalahan, padahal dalilnya sama dari ayat Al-Quran dan Al-Hadits juga.  Apakah tidak ada suatu metode atau cara yang tepat dan benar dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam?

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu”. (QS. Al-Maidah: 3).

Kesempurnaan dan kejelasan ajaran Islam pun telah ditegaskan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wasallam di dalam hadits berikut ini:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ

“Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian (syariat) yang putih cemerlang (jelas), malamnya seperti siangnya. Tidak akan menyeleweng daripadanya sepeninggalku melainkan dia akan binasa”. (HR. Ibnu Majah I/16 no.43, dan Ahmad IV/126 no.17182, dari jalan Al-‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallahu anhu).

Juga diriwayatkan dari Muththalib bin Hanthab radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا أَمَرَكُمُ اللهُ بِهِ إِلاَّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ بِهِ, وَمَا تَرَكْتُ شَيْئًا مِمَّا نَهَاكُمْ عَنْهُ إِلاَّ قَدْ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

“Tidak kutinggalkan sesuatu pun dari yang Allah perintahkan kecuali telah aku perintahkan kepada kalian, dan tidaklah aku tinggalkan sedikit pun perkara yang Allah larang melainkan sungguh telah aku larang kalian dari padanya”. (HR. Imam Asy-Syafi’i di dalam Musnadnya I/233 no.1153).

Jelas sudah bagi yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bahwa Islam telah sempurna dan lengkap serta tidak membutuhkan perubahan dan penambahan atau pengurangan. Selain itu, Allah sendiri yang menjamin kemurniannya, seperti dalam firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نزلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Al-Quran) dan sesungguhnya Kamilah yang menjaganya”.(QS. Al-Hijr: 9).

Sebagaimana Allah telah menjamin keaslian Al-Quran, seperti itu pulalah Allah menjamin kemurnian Islam. Karena itu tidak akan ada pertentangan apapun di antara segala perkara yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana firman-Nya: أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا “Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentu mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. An-Nisa’: 82).

Demikianlah keseluruhan ajaran Islam. Pada asalnya tidak sedikit pun mengandung unsur pertentangan. Pertentangan hingga perpecahan umat Islam di dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam tidaklah terjadi melainkan disebabkan tersebarnya hawa nafsu, syahwat, syubhat, keras hati dalam menerima kebenaran, kurang atau bahkan tidak mengikuti tuntunan Nabi, melemah dan hilangnya sunnah dan tersebarnya bid’ah, dan mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan seperti mencampur Islam dengan filsafat, ilmu kalam dan lain sebagainya. Memang berbagai macam manhaj (konsep memahami agama) yang diikuti kebanyakan umat Islam yang tidak sesuai dan tidak berdasarkan Al-Quran dan Sunnah yang shahih, pasti tidak akan membawa manfaat apa pun, kecuali semakin menjauhkan umat ini dari jalan yang benar.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di dalam hadits berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ، ثُمَّ قَالَ : هَذَا سَبِيلُ اللهِ ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ، ثُمَّ قَالَ : هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ، ثُمَّ قَرَأَ : {وَإِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ ، فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ}.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam membuat garis dengan tangannya lalu berkata, “Inilah jalan Allah yang lurus”. Kemudian membuat garis lagi di sebelah kanan dan kirinya, seraya berkata, “Ini adalah jalan-jalan yang lain. Tiada satu pun darinya tersebut kecuali di sana ada setan yang menyeru kepadanya”.

Kemudian beliau membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah engkau mengikuti jalan-jalan lain, karena kan mecerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikian itulah Allah wasiatkan kepadamu agar kamu bertakwa”. (HR. Ahmad I/435 no.4142).

Jelas dari dalil di atas, bahwa manhaj (metode/cara) yang benar itu hanya satu dan sikap mengikuti manhaj selainnya akan membawa pertentangan, perpecahan, dan kesesatan. Padahal sebelumnya, prinsip-prinsip ajaran Islam sendiri adalah satu sejak zaman Nabi Adam hingga Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Demikian juga halnya dengan kondisi umat yang ada.

Namun karena berbagai penyelewengan itulah akhirnya terjadi pertentangan dan perpecahan. Hal ini dijelaskan Allah di dalam firman-Nya:

وَمَا كَانَ النَّاسُ إِلا أُمَّةً وَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

“Tidaklah manusia itu (dahulu) melainkan umat yang satu, kemudian mereka berselisih. Kalau tidak karena ketetapan yang telah berlalu dari Rabb-mu, niscaya telah diberi keputusan di antara mereka mengenai apa yang mereka perselisihkan”. (QS. Yunus: 19).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, bahwa akan ada generasi manusia berikutnya yang beraneka ragam agama, keyakinan, ajaran, kelompok, dasar pijakan, dan pikiran mereka. Sedangkan Ikrimah mengatakan bahwa mereka berselisih dalam petunjuk. Tetapi di antara mereka ada yang dikecualikan, sebagaimana firman-Nya:

وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

“Mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu”. (QS. Huud: 118-119).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Allah mengabarkan bahwa orang-orang yang dirahmati-Nya tidak akan berselisih. Mereka adalah para pengikut Nabi dengan perkataan dan perbuatan, dan mereka adalah ahli Al-Quran dan hadits dari umat ini”. Yakni mereka yang mendapat rahmat Allah dari setiap pengikut para Nabi yang berpegang teguh dengan segala yang diperintahkan agama. Mereka itu dikenal dengan golongan yang selamat (Al-Firqoh An-Najiyah). Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam:

أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ, ثِنْتَانِ وَسَبْعِيْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Ketahuilah, sesungguhnya orang sebelum kamu dari ahli kitab telah berpecah belah menjadi 72 kelompok. Dan sungguh umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 berada di neraka dan hanya satu dalam surga, yaitu al-jama’ah”. (HR. Ahmad IV/102 no.16979, Abu Dawud II/608 no.4597, Ibnu Majah II/1322 no.3992).

Sekarang, permasalahan yang lebih penting untuk diketahui adalah manhaj (cara) yang bagaimana dan siapa tokoh-tokoh yang harus diikuti dalam mempelajari, memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam tersebut?

Ciri-ciri manhaj mereka adalah berdasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini:
1. Al-Quran Al-Karim

Pedoman pertama dan paling tinggi dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang paling benar dan selamat, tiada lain adalah Al-Quran Al-Karim yang merupakan wahyu Allah subhanahu wa ta’ala. Barangsiapa yang mengingkari wajibnya berpegang teguh dengan Al-Quran Al-Karim, maka dia itu kafir menurut kesepakatan (ijma’) umat Islam. Wajibnya berpegang teguh dengan Al-Quran Al-Karim tampak dari firman Allah ta’ala berikut ini:

وَهَذَا كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan itulah kitab. Kami telah menurunkannya dengan penuh keberkahan, maka ikutilah dan berdakwalah agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-An’am:155).

Dan dari sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam:

أَلاَ وَإِنِّيْ تَارِكٌ فِيْكُمْ ثِقَلَيْنِ, أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللهِ مَنِ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلاَلَةٍ

“Sesungguhnya aku tinggalkan bagimu 2 perkara, salah satunya ialah kitab Allah ‘azza wa jalla, ia itu tali Allah, barangsiapa mengikutinya, maka ia berada di atas hidayah. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia dalam kesesatan”. (HR. Muslim IV/1873 no.2408).

2. Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang shahih.

Pedoman yang kedua adalah Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang shahih. Hal ini dapat dimaklumi dan tidak bisa diingkari. Dalam memahami dan mengamalkan Al-Quran Al-Karim, baik dari segi akidah, ibadah, muamalah, adab dan akhlak tidak dapat dilepaskan dari peranan hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, karena hadits merupakan penjelasan yang rinci dan detail terhadap apa yang dikandung Al-Quran secara global dan umum. Bahkan ini merupakan metode yang ditentukan oleh firman Allah ta’ala:

وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan Kami telah menurunkan Adz-Dzikr (Al-Quran) agar kamu (Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam) menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan agar mereka memikirkannya”. (QS. An-Nahl: 44).

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:

أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah sesungguhnya diturunkan kepadaku Al-Quran dan yang serupa bersamanya (As-Sunnah/hadits Nabi)”.(HR. Ahmad IV/130 no.17213, dan Abu Dawud II/610 no.4604).

Berepegang dengan Al-Quran dan As-Sunnah belumlah cukup. Banyak dijumpai dalam buku atau pengajian-pengajian yang mengupas masalah yang sama, tapi penjelasannya berbeda atau malah berlawanan, hal ini bisa bahaya sebab kalau menyangkut masalah akidah jika salah maka neraka akibatnya. Contohnya golongan Ahmadiyah membelokkan makna sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, (لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ ) “Tidak ada Nabi sesudahku”. Dengan mengatakan bahwa, “Bersamaku tidak ada Nabi, akan tetapi jika aku telah mati akan ada Nabi”. Mereka juga mengartikan makna (خَاتَمَ) khatam dari ayat di bawah ini, (…وَلَكِنْ رَسُوْلَ اللهِ وَ خَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ …) “Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”. (QS. Al-Ahzab: 40). Dengan arti yang berbeda yaitu “perhiasan para nabi”, karena khatamu kalau diterjemahkan adalah perhiasan jari (cincin). Dari sini dapat diketahui bahwa pemahaman terhadap Al-Quran dan As-Sunnah/Al-Hadits tidak boleh dilakukan oleh semua orang, karena bisa menjerumuskan pada kesesatan.

3. Atsar (perkataan atau perbuatan) para sahabat Nabi.

Untuk dapat memahami dan mengamalkan dua pedoman di atas dengan benar, maka haruslah merujuk kepada atsar (riwayat berupa perkataan dan perbuatan) para sahabat. Hal ini jelas terlihat dalam berbagai riwayat hadits iftiraq al-ummah (perpecahan umat) yang jalur periwayatannya banyak sekali. Semuanya menyatakan bahwa hanya satu golongan yang selamat dari perpecahan tersebut, yaitu yang mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan para sahabat. Allah subhanahu wa ta’ala sendiri telah ridha terhadap mereka, seperti dalam firman-Nya:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang mukmin yang berjanji setia kepadamu di bawah pohon (bai’at al-ridwan). Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan bagi mereka kemenangan yang dekat”. (QS. Al-Fath: 18).

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhuma berkata: “Kami (saat itu) berjumlah 1400 orang”. (HR. Bukhari).

Dan di dalam ayat lain Allah berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang terdahulu yang pertama masuk Islam dari orang-orang Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung”. (QS. At-Taubah: 100).

Dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa orang yang membenci dan mencela baik sebagian atau semua sahabat Nabi, akan mendapat kecelakaan. Sebagaimana kelompok Syi’ah (Rafidhah) yang kerjaannya hanya membenci, mencela dan menentang keutamaan para sahabat Nabi. Padahal Nabi sendiri bersabda:

أَكْرِمُوْا أَصْحَابِيْ ، فَأِنَِّهُمْ خِيَارُكُمْ

“Muliakanlah para sahabatku, karena sesungguhnya mereka adalah orang terbaik di antara kalian”. (Dikeluarkan oleh ‘Abd bin Humaid di dalam Musnadnya no.23, Ibnu Baththoh di dalam Al-Ibanah Al-Kubro no.84, dan selainnya. Dan dinyatakan SHOHIH oleh Syaikh al-Albani di dalam Misykat Al-Mashobih III/308 no.6003).

Dalam hadits lain Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَسُبُّوْا أَ صْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أّحَدَكُمْ أّنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ

“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti gunung Uhud, tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya”. (HR. Bukhari III/1343 no.3470, dan Muslim IV/1967 no.2540, dan Ahmad III/63 no.11626).

Beliau shallallahu ’alaihi wasallam Juga bersabda:

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

“Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat laknat Allah”. (HR. Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushonnaf no.1741, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no.832. Dan dinyatakan HASAN oleh syaikh Al-Abani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah V/446 no.2340).

Imam Thahawi berkata: “Benci terhadap sahabat adalah kekafiran, kemunafikan dan tindakan melampaui batas”. Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika kamu melihat seseorang melecehkan seorang sahabat Nabi, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq (munafik).  Karena menurut kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam adalah benar dan Al-Quran juga benar. Sedangkan yang menyampaikan Al-Quran dan Hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam kepada kita adalah para sahabat. Mereka hanya ingin mencela para saksi kita untuk menghancurkan Al-Quran dan As-Sunnah (Al-Hadits). Celaan kepada mereka (para pencela) lebih pantas, dan mereka adalah zindiq”. Mengenai keadilan dan keutamaan para sahabat sudah banyak dijumpai baik di dalam Al-Quran maupun As-Sunnah yang shahih. Keharusan mengikutinya adalah suatu hal yang wajib, masuk akal, bisa diterima serta maklum adanya. Merekalah saksi hidup yang dibimbing langsung oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, sehingga lebih mengetahui dan paham mengenai ajaran Islam dan pengamalannya.

4. Jejak para tabi’in dan tabiut tabi’in.

Setelah masa sahabat, terdapat suatu generasi yang masih komitmen mengikuti jejaknya. Demikian pula para ulama sesudah generasi mereka. Anjuran untuk senantiasa bersama-sama dengan generasi yang utama dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam didasarkan firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat At-Taubah ayat 100 yang telah kita sebutkan di atas. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ, ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ, ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang sesudah mereka, lalu yang sesudahnya lagi”. (HR. bukhari II/938 no.2509. lihat pula hadits nomor. 3451, 6065, 6282, dan Muslim IV/1962 no.2533).

Semoga setelah mengetahui cara memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara benar, akan lebih memperkokoh dalam menghadapi suara-suara sumbang baik musuh dalam diri Islam (orang munafik dan ahli bid’ah) maupun orang-orang kafir. Jangan mudah tertipu propaganda palsu yang menyesatkan, yang berkedok Al-Quran dan As-Sunnah namun pemahamannya keliru. Yang lebih penting, semoga kita bisa beramal dan berdakwah dengan landasan yang kuat.

by : Abu Namira Hasna Al- jauziyah
Sumber: Buletin Dakwah Al-Ittiba’ Edisi 1 Tahun I , 2006, Yayasan Mutiara Hikmah, Klaten – Jawa Tengah

Dinukil dari :  Madrasah Ibnu Abbas AsSalafy Kendari
baca selanjutnya »»