Tahrir (HTI); Mengoreksi Penguasa Harus
dengan GAYA TUKUL?
Sebuah bantahan terhadap
artikel berjudul “Mengoreksi Penguasa
Harus Dengan GAYA TUKUL…??”
Judul asli artikel Kritik Atas Pendapat Yang Menyatakan Mengoreksi Penguasa
Harus Dengan (Empat Mata) karya tokoh
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Syamsudin Ramadhan An-Nawiy hadahullah
Oleh al Ustadz al Fadhil Abu
Yahya Badrussalam, Lc. hafizhahullah
Berkata
Syamsuddin Ramadlan (HTI):
Mengoreksi
Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??
Tanggapan:
Tukulkah yang menjadi panutanmu ??
HTI: Perlu
kami nyatakan bahwa hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara
terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar
dan perilaku generasi salafus sholeh.
Tanggapan:
Tetapi justru para ulama salaf menyatakan bahwa hukum asal menasehati adalah
dengan rahasia. Ibnu Hibban berkata: “Nasehat wajib kepada manusia seluruhnya..
akan tetapi wajib dengan secara rahasia, karena orang yang menasehati
saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mencelanya, dan siapa yang
menasehatinya secara rahasia, maka ia telah menghiasinya..” (Raudlatul ‘Uqala
hal 196).
Imam
Asy Syafi’I berkata: “Nasehatilah aku ketika sendirian, dan jauhi nasehat di
depan jama’ah. Karena nasehat ditengah manusia adalah salah satu macam mencaci
maki yang aku tidak suka mendengarnya.. (Mawa’idz imam Asy Syafi’I 1/23).
HTI: Namun, sebagian orang bodoh berpendapat bahwa menasehati seorang
penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata).
Tanggapan:
Sebagian orang bodoh ?? betulkah mereka orang bodoh?? Ya.. menuduh memang
mudah.. namun Allah yang maha tahu siapa yang sebenarnya bodoh..
HTI: Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasehati mereka dengan
terang-terangan di depan umum, atau mengungkapkan kejahatan dan keburukan
mereka di depan umum, karena ada dalil yang mengkhususkan.
Tanggapan: Bila
yang dimaksud mereka adalah salafiyun, maka mereka berdasarkan dalil dan
perbuatan para shahabat dan para ulama. Adapun dalil, maka berdasarkan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa yang ingin
menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah terang-terangan ,
namun ambillah tangannya dan bersendirianlah dengannya (rahasia), jika ia
menerima (itu yang diharapkan) dan jika tidak, maka ia telah melaksanakan
tugas”. (HR Ahmad, ibnu Ashim dan lainnya).
Adapun
perbuatan shahabat, Anas bin Malik berkata: “Para pembesar kami dari shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami, (mereka berkata):
“Janganlah kamu mencaci maki umara, jangan pula mencurangi dan memaksiati
mereka”.(Al Hujjah fii bayanil Mahajjah 2/435).
Ziyad
bin Kusaib Al ‘Adawi berkata: “Aku bersama Abu Bakrah dibawah mimbar ibnu Amir
yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian yang tipis, maka Abu Bilaal berkata:
“Lihatlah kepada pemimpin kita ini, dia memakai pakaian orang fasiq”. Abu
Bakrah berkata: “Diam kamu!! Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Barang siapa yang menghinakan penguasa di bumi, Allah akan
hinakan ia”. (HR At Tirmidzi, Al Bazzaar dan lainnya).
Dikatakan
kepada Usamah bin Zaid: “Andai kamu mendatangi fulan (maksudnya Utsman bin
Affan) dan mengajaknya bicara”. Usamah berkata: “Sesungguhnya kamu memandang
bahwa bila aku mengajaknya bicara, aku harus memperdengarkannya kepada kamu,
sesungguhnya aku berbicara dengannya secara rahasia tanpa membuka pintu, dan
aku tidak ingin menjadi orang yang pertama kali membukanya”. (HR Bukhari no
3267 dan Muslim no 2989). Dalam riwayat Muslim, Usamah berkata: “Sungguh, aku
telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja..dst”.
Al
Qurthubi berkata: “Maksud Usamah adalah bahwa beliau menjauhi berbicara di
hadapan manusia, demikianlah yang wajib dalam menegur pembesar dan umara,
hendaknya mereka dihormati di hadapan rakyat untuk menjaga kewibawaan mereka,
dan menasehatinya secara rahasia, untuk melaksanakan kewajiban menasehati
mereka, dan perkataan beliau: ” Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara
aku dan dia saja”. Maksudnya berbicara langsung dengan ucapan yang lemah
lembut, sebab yang demikian itu lebih taqwa dari menasehati mereka dengan
terang-terangan dan memberontak kepada penguasa, karena amat besar fitnah dan
mafsadah yang ditimbulkan akibat menasehati secara terang-terangan”. (Al Mufhim
6/619).
HTI: Pendapat semacam ini adalah pendapat bathil, dan bertentangan
dengan realitas muhasabah al-hukkam yang dilakukan oleh Nabi saw, para shahabat
dan generasi-generasi salafus shaleh sesudah mereka.
Tanggapan:
Jangan terlalu cepat memvonis saudaraku, karena yang antum fahami itu ternyata
bertentangan dengan apa yang difahami oleh para ulama..
HTI: Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi pennguasa
dengan empat mata) bertentangan dengan point-point berikut ini:
a. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas
mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw tidak segan-segan mengumumkan
perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan
tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan
perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu
Humaid As Sa’idiy bahwasanya ia berkata:
اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي
“Rasulullah saw
mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim.
Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah
usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw menanyakan
tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian
ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah
diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika
engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah
dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri,
lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah
swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara
kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu,
ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah
milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di
rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia
memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan
memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah
swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang
datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh,
atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon
kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam
Bukhari dan Muslim]
Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw
pernah menasehati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya
secara terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau saw tidak hanya
menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi, membeberkan
kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa
menasehati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan
Nabi saw, manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru menasehati salah satu
pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan
khalayak ramai?
Tanggapan: Itu
karena antum kurang memahami hakikat qiyas, karena di sini antum menyamakan apa
yang dilakukan oleh Nabi sebagai penguasa kepada pegawainya, dengan menasehati
penguasa yang dilakukan oleh rakyatnya.. dan qiyas seperti ini adalah batil
karena ia adalah qiyas yang amat jauh berbeda, selain itu qiyas antum ini
bertabrakan dengan dalil yang melarang menasehati penguasa secara
terang-terangan..
HTI : b. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat
kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath
Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
سيد الشهداء عند الله يوم القيامة حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Pemimpin para syuhada di
sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang
laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia
memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim
dan Thabaraniy]
Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak
menjelaskan secara rinci tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus
dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu,
seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi (empat mata). Hadits ini tidak bisa ditakhshih dengan
hadits-hadits yang menuturkan tentang muhasabah lil hukkam (mengoreksi
penguasa) dengan empat mata. Pasalnya, hadits-hadits yang menuturkan tentang
menasehati penguasa dengan empat mata adalah hadits dla’if. (Penjelasannya
lihat di point berikutnya).
Tanggapan: Itu
karena antum mendla’ifkan hadits yang sebenarnya hasan atau shahih yaitu hadits
yang menjelaskan tata cara menasehati penguasa yaitu tidak boleh secara
terangan-terangan, karena akibat antum kurang sungguh-sungguh mencari
jalan-jalan lainnya yang antum tidak ketahui sebagaimana yang akan
diterangkan.. maka nasehat saya jangan tergesa-gesa memvonis.. sebab perbuatan
itu sama saja membongkar kebodohan antum sendiri..
HTI: c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah)
penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata
(kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa
dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan
sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi
SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala
sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu
selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam
kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga
menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali
jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang
kuat dari Allah.”[HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para
penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa
saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang
mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya
(dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?”
Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.”
[HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih
Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai
kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana
yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen,
“”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih
menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari
para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan
selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”
Hadits
di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib
mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para
penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga
menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa
yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga
menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika
penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu, bagaimana bisa
dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi
(empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan terang-terangan?
Tanggapan:
Hadits itu berbicara mengenai mengganti hakim yang telah kafir dan keluar dari
islam dan tidak berbicara tentang cara menasehati penguasa, dan yang kita
fahami dari perkataan An Nawawi yang antum bawakan bahwa hakim yang melakukan
kezaliman dan kefasiqan maka kita dilarang membangkang dari penguasa seperti
itu, tidak pula menasehatinya secara terang-terangan.. dan berhukum dengan
hukum selain Allah bukanlah perkara yang membuat pelakunya keluar dari millah
islam secara mutlak sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena
itu tidak ada satupun ulama yang memahami dari hadits di atas bolehnya
menasehati penguasa secara terangan-terangan, dan yang antum katakan itu
berasal dari kantong antum sendiri..
HTI: d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra
terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam
realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan
bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu
cara saja.
Tanggapan: Sekali lagi, jangan terlalu gegabah mengambil kesimpulan hanya
karena kisah yang antum bawakan itu kebetulan sesuai dengan hawa nafsu,
kewajiban kita adalah melihat keadaan suatu kisah dan menimbangnya dengan
dalil, agar kita dapat memahaminya dengan benar..
HTI: Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana
cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan
bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah,
memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah.
Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga
mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk
Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di
dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah
pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”.[Al Bidayah wa An
Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra
untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.
Tanggapan: Aneh, mengapa antum tidak membawakan juga pengingkaran para
shahabat terhadap perbuatan Husain tsb, padahal ibnu Katsir dalam Al Bidayah
wan Nihayah menyebutkan shahabat-shahabat yang mengingkari Husain, yaitu Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al Khudri, Jabir bin Abdillah, Abu Waqid Al laitsi
(Al Bidayah wan Nihayah 8/163 cet Maktanah Al Ma’arif) juga pengingkaran kibar
tabi’in terhadap Husain seperti Sa’id bin Musayyib dan Abu Salamah bin
Abdurrahman.. dan bukankah dalam kisah yang dikisahkan oleh ibnu Katsir
menyebutkan bahwa Husain sebenarnya tertipu oleh Ahli Kufah yang meminta agar
Husain datang kepada mereka..
Adapun
perkataan antum bahwa tidak ada seorangpun menyatakan bahwa Al Husain termasuk
firqah sesat, itu karena beliau melakukan perbuatan tersebut bukan karena
mengikuti hawa nafsu namun karena ijtihad beliau yang salah, berbeda dengan
kalian yang berusaha mencari-cari dalil yang sesuai dengan hawa nafsu.. yang
seharusnya kewajiban kalian adalah mengikuti para ulama sunnah dalam
masalah-masalah besar seperti ini..
HTI: • Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan
Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah
Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi
Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang
sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.
Tanggapan: Ini juga kesalahan pemahaman antum, karena kepergian Aisyah
sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir adalah untuk meminta agar para
pembunuh Utsman di qishash, dan kepergian Aisyah ini telah diisyaratkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kesalahan perbuatannya, ibnu Katsir
menuturkan: “mereka (pasukan Aisyah) melewati sebuah perkampungan yang bernama
Hau-ab, lalu anjing-anjing di situ menggonggonginya, maka ketika Aisyah
mendengar suara anjing itu, beliau bertanya: “Apa nama tempat ini? Mereka
berkata: “Hau-ab”. Lalu Aisyah memukulkan salah satu tangannya kepada yang
lainnya dan berkata: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un, aku harus kembali”.
Mereka berkata: “Mengapa?” Aisyah berkata: “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada istri-istrinya:
أَيَّتُكُنَّ تَنْبَحُ عَلَيْهَا كِلَابُ الْحَوْأَبِ
“Siapakah di antara
kalian yang digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab”. (HR Ahmad).Kemudian Aisyah
memukul lengan untanya agar duduk, beliau berkata: “Kembalikan aku! Kembalikan
aku! Demi Allah ternyata aku yang digonggongi ajing-anjing Hau-ab.. (Al Bidayah
wan Nihayah 7/231-232 cet. Maktabah Al Ma’arif).
HTI: • Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum
Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata,
“Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia
meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai
Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya
pedang kami”.
Tanggapan: sayangnya anda tidak membawakan sanad kisah tersebut, dan
menelitinya apakah kisah tersebut shahih atau tidak. Kisah seperti ini kalaupun
shahih, tidak bisa dijadikan hujjah, karena perbuatan laki-laki arab itu
bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati pemimpin, namun boleh jadi
antum berkata: “Tetapi Umar tidak mengingkarinya”. Kita jawab: “Diamnya Umar
boleh jadi karena si arab itu lelaki yang bodoh, sedangkan Allah menyuruh kita
untuk berpaling dari orang yang bodoh, dan tidak membalasnya dengan kebodohan.
Sebagaimana di sebutkan dalam kisah bahwa ‘Uyainah pernah berkata kepada Umar:
“Wahai ibnul Khathab! Kamu tidak mau memberi kami banyak dan tidak pula
menghukumi dengan adil, maka Umar marah namun diingatkan oleh Al Hurr dengan
ayat yang menyuruh untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh..(HR Bukhari).
Maka
hikayat perbuatan seperti ini disebut dalam ushul fiqih sebagai waqa’iul a’yaan
yang tidak bermakna umum.
HTI: • Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain
Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di
hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah
dan taatilah…” Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya
berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata,
“Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu,
sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau
menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun
tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin
Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata,
“Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin
Umar menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami,
maka kami akan mendengar dan taat”. ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama'
wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]
Tanggapan: Anda pun tidak membawakan sanadnya untuk dapat diperiksa apakah
shahih atau tidak, memang demikian keadaan pengikut hawa nafsu, ketika ia
mendapatkan kabar yang sesuai dengan hawa nafsunya, segera diambilnya tanpa
melihat apakah kisah itu shahih atau tidak..
Kalaupun
kisah itu shahih, tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat itu
bila bertentangan dengan dalil, tidak dapat diterima. Terlebih Di sini Salman
hanya ingin tatsabbut saja mengenai dua pakaian yang diambil oleh Umar, dan
Umar seorang pemimpin yang adil membiarkan Salman berbuat demikian karena
ketawadlu’an beliau, dan bukan berarti perbuatan menasehati penguasa secara
terang-terangan diperbolehkan, karena kisah ini hanyalah hikayat perbuatan, dan
sebagaimana telah disebutkan dalam ushul fiqih bahwa sebatas hikayat perbuatan
mengandung banyak kemungkinan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah,
lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil.
HTI: • Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah
memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan
taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang
salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah
berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah,
mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu
dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar
seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia
menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi.
Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan
perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,
“Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang
bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah,
hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata
benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah
ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na'im dalam
Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al
Ihya', juz 7, hal. 70]
Tanggapan: Kisah itu dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/130)
dari jalan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz dari Yasin bin Abdillah bin Urwah dari
Abu Muslim Al Kahulani. Dan sanad ini lemah karena Yasin bin Abdullah ini tidak
diketahui siapa ia, sedangkan Abdul Majid padanya terdapat kelemahan, Ibnu
Hajar berkata: “Shaduq yukhti”. Dan ibnu Hibban berkata: “Mungkar hadits
jiddan, suka membalikan kabar dan meriwayat hadits-hadits yang mungkar dari
paerawi-perawi masyhur sehingga berhak untuk ditinggalkan”. (Al Majruhin
2/152). Karena kisah ini lemah maka tidak bias dijadikan hujjah.
HTI: • Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik
sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras
harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar
ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di
depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul
Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]
• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al
Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada
Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim
Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, “Semoga orang Islam tidak
dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika
menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan
langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”. [Qalaaid Al Jawaahir,
hal. 8]
•
Sulthan al-’Ulama, Al ‘iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang
telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin
bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik
tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat
itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas
dan lurus, Al ‘Iuz ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di
rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]
Tanggapan: Kisah-kisah ini kalaupun benar tidak bisa dijadikan hujah,
karena perbuatan ulama bukan dalil, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil.
Dalil itu adalah Al Qur’an dan sunnah, terlebih kisah itu masih diragukan,
karena kisah tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar.
HTI:
Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish
menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut
di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para
penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya
di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.
Tanggapan: Kisah-kisah seperti itu tidak banyak dilakukan oleh ulama,
terlebih ulama salaf terdahulu, justru kebalikannya itulah yang banyak, bila
kita baca sejarah para ulama, akan kita dapati mereka adalah orang yang paling
melarang membangkang kepada penguasa, seperti kisah yang terjadi pada zaman
imam Ahmad bin hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha
Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu ‘Abdillah (imam
Ahmad), mereka berkata,” Sesungguhnya fitnah ini telah menjadi besar dan
tersebar (yaitu pemikiran bahwa Al Qur’an itu makhluk dan kesesatan lainnya)
dan kami tidak rela dengan kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya “.
Imam Ahmad berdialog
dengan mereka dalam perkara ini, beliau berkata,” Hendaklah kalian mengingkari
dengan hati kalian dan jangan melepaskan diri dari keta’atan, jangan memecah
belah kaum muslimin, dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin bersama kalian.
Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian, dan bersabarlah sampai beristirahat
orang yang baik dan diistirahatkan dari orang yang jahat “. Beliau berkata
lagi,” Perbuatan ini (pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunnah)
“.[1]
Para fuqaha yang banyak
itu sepakat dengan imam Ahmad setelah ditegakkan hujjah oleh imam Ahmad,
padahal imam Ahmad disiksa oleh penguasa di zamannya. Coba bandingkan dengan
perbuatan firqah HTI, apakah perbuatan mereka seperti yang dilakukan oleh imam
Ahmad dan para fuqaha??!
HTI: Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa
haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan
ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
Tanggapan: Para
ulama yang antum ikuti itu tidak jelas kebenaran sanadnya, antum hanya sebatas
membeo dan tidak meneliti kebenarannya, namun demikianlah sifat pengikut hawa
nafsu.. sementara kisah-kisah ulama yang jelas sesuai dengan sunnah dalam
menasehati penguasa, antum tutup-tutupi, hanya untuk mengelabui orang awam.
HTI: Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath’iy telah
menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu harus disampaikan secara
terang-terangan, dan tidak boleh sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah
menyebut masalah ini dengan sangat jelas.
Tanggapan: Qath’iy yang anda kira ternyata lebih lemah dari sarang
laba-laba, karena dalil-dalil yang anda bawakan telah kita jelaskan
kelemahannya dalam memahaminya..
HTI: Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang
mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus
dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka
berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara
mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.
Imam
Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّىغَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
“Telah meriwayatkan
kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami
Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al
Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya,
ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm
dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin
Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada
‘Iyadl, “Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya manusia
yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa
manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm berkata, “Ya Hisyam bin Hakim,
sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa
yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda,
“Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk
memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi
ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka
baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi
kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh
berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau
takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh
oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”.[HR. Imam Ahmad]
‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-Fahri. Beliau
adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang
melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.
Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat
yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau
wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang
yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di
dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia
mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal
dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau,
sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.
Di
dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan darinya:…dan
‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy
al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari
shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad
bin ‘Auf ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu
Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga ditanyakan kepada Mohammad
bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab,
“Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”.
Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)”.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia tsiqqah
(terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya.
Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku berkata,
“Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin
Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar bapakku berkata,
“Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ariy secara
mursal”.
Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin
‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma’diy Karab ra
yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin
‘Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan
Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah
pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?
Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta’liq
(menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun
indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang
yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi
sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Demikian
pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu
‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, “Telah
meriwayatkan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah
meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada
kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin ‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Yadl
bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda
Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah
ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya,
lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala,
dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR.
Imam Ahmad]
Baqiyyah
adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih
menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan
Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis
yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari
tadlisnya itu ‘an’anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari
gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam Al
Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‘Ubaid) hanya
berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya
tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid
mendengar hadits ini langsung dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang
tabi’un.
Catatan
lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq (menggugurkan
perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan
bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan
kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits
munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah
diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin ‘Iyasy.
Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad
di atas.
Tanggapan: sayangnya anda tidak menyebutkan jalan lain, yaitu yang
dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Dalam Al Mu’jamul Kabiir: Haddatsana Amru
bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al
Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata:
HaddatsanaIshaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin
Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada
‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Sanad
ini walaupun lemah karena Amru bin Al Harits dikatakan oleh Al Hafidz: Maqbul,
demikian pula Al Fadl bin Fadlalah, namun jalan ini menguatkan jalan Muhammad
bin Isma’il bin Ayyasy, sehingga naik kepada derajat hasan, dan bila
digabungkan dengan sanad imam Ahmad : Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al
Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia
berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan
lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm.. dst. Maka naik kepada derajat shahih,
adapun permasalahan Syuraih tidak mendengar dari Iyadl, tidak bermudlarat bila
ternyata telah diketahui wasithahnya yaitu Jubair bin Nufair.
sumber:
http://miauideologis.multiply.com/journal/item/137/Mengoreksi_Penguasa_Harus_Dengan_GAYA_TUKUL