Kamis, 21 November 2013

ALASAN MEMAKAI ARLOJI DI TANGAN KANAN

Hukum Memakai Arloji di Tangan Kanan

arloji

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah ditanya : Kami melihat sebagian orang memakai jam tangan di tangan kanan, dan mereka berkata bahwa yang demikian itu sunnah, adakah dalilnya?

Jawaban:

Kami berpegang teguh dalam masalah ini dengan kaidah umum yang terdapat dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha di dalam Ash-Shahih, ia berkata,

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai menggunakan (mendahulukan) kanan dalam segala sesuatu, yaitu ketika bersisir, bersuci, dan dalam setiap urusan."

Dan kami tambahkan dalam hal ini, hadits lain yang diriwayatkan dalam Ash-Shahih, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya Yahudi tidak mencelup (menyemir) rambut-rambut mereka, karena itu berbedalah dengan mereka, dengan cara menyermir rambut kalian."

Juga hadits yang lain yang di dalamnya terdapat perintah untuk berbeda dengan musyrikin.

Maka dari hadits-hadits tersebut dapat kami simpulkan bahwa disunnahkan bagi seorang muslim untuk bersemangat dalam membedakan diri dengan orang-orang kafir.

Dan sepatutnyalah untuk kita ingat bahwa membedakan diri dari orang kafir, mengandung arti bahwa kita dilarang mengikuti adat kebiasaan mereka. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai orang kafir, dan sudah selayaknya bagi kita untuk selalu tampil beda dengan orang-orang kafir.

Di antara adat kebiasaan orang kafir adalah memakai jam tangan di tangan kiri, padahal kita mendapatkan pintu yang teramat luas di dalam syari'at untuk menyelisihi adat ini. Walhasil mengenakan jam tangan di tangan kanan merupakan pelaksanaan kaidah umum, yaitu (mendahulukan) yang kanan dan juga kaidah umum yang lain yaitu membedakan diri dengan orang-orang kafir.

Sumber: Fatwa-Fatwa
Albani, oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah (penerjemah: Adni Kurniawan), penerbit Pustaka At-Tauhid.
baca selanjutnya »»  

Rabu, 20 November 2013

MEMAHAMI KUFRUN DUNA KUFRIN

Oleh
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali hafizhahullah

Pertanyaan.
Syaikh Salim bin Id Al-Hilali ditanya : Bagaimana pendapat Anda tentang sebagian da’i yang mengatakan bahwa perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, yaitu kufrun duna kufrin (kekafiran di bawah kekafiran, yaitu kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam,-red) berlaku bagi pemerintah yang menjadikan Islam sebagai hukum, lalu dalam beberapa masalah dia menyeleweng ; bukan pada pemerintah yang memang undang-undang mereka tidak menjadikan Islam sebagai sumber hukum, walaupun dia beragama Islam, maka itu adalah kufur Akbar.

Jawaban
Tentang riwayat Ibnu Abbas, Pertama ; riwayat yang jelas dan sharih (nyata), dalam masalah membedakan antara dua jenis kekafiran, yaitu kufur akbar dan kufur ashghar. Kekafiran yang mengeluarkan dari agama dan kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama. Karena sesungguhnya, masalah berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan termasuk kufur ashghar, permulaannya. Dan tidaklah keluar dari kufur ashghar kepada kufur akbar yang mengeluarkan dari agama, kecuali dengan istihlal (meyakini kehalalan berhukum dengan selain yang Allah turunkan).

Kemudian kita kembali kepada pertanyaan. Perkataan sebagian da’i atau sebagian penulis bahwa perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berlaku bagi orang yang menghukumi dengan selain yang Allah turunkan dalam satu masalah atau dua masalah, atau tiga masalah, atau semacam itu. Adapun pemerintah yang menggantikan syari’at Allah dengan syari’at selain-Nya, maka perkataan Ibnu Abbas tidaklah mengenainya.

Perkataan ini, zhahirnya teori yang bagus. Namun menurut penelitian tidak memiliki dalil yang dijadikan sandaran padanya.

Pertama : Perkataan Ibnu Abbas ini diriwayatkan turun temurun oleh Salaf,dari satu generasi kepada generasi berikutnya, sehingga sampai kepada para ulama dakwah yang baik dan diberkahi pada zaman kita ini. Dan mereka tidaklah berpendapat dengan syarat ini (yaitu perincian yang mereka sebutkan, -red) pada riwayat Ibnu Abbas. Apakah mereka (para ulama kita itu) di atas ilmu, atau mereka di atas kesesatan dan kebodohan? Tidak ada keraguan bahwa ulama Islam berada di atas ilmu dan petunjuk sedangkan mereka ini, para hizbiyyun (fanatikus golongan, organisasi) di atas kesesatan dan kebodohan. Maka perkataan mereka ini tertolak.

Kedua Apakah yang menjadikan mereka membedakan antara menghukumi dalam satu masalah dengan menghukumi dalam seratus masalah? Maka berikanlah kepada kami batas pemisah, antara orang yang disamakan sehingga mereka terkena riwayat ini, dengan orang yang tidak disamakan sehingga tidak terkena riwayat ini. Yaitu satu masalah, dua masalah, tiga, empat ratus, atau seribu, tidak ada batasan pada mereka. Ini menunjukkan jauhnya perkataan mereka (dari kebenaran).

Ketiga ; Bahwa istibdal (penggantian syari’at oleh penguasa muslim) secara menyeluruh tidaklah didapati di muka bumi ini di antara kaum muslimin. Yaitu menghukumi seratus persen dengan selain yang Allah turunkan. Pada semua negara, hukum-hukum warisan, hukum-hukum pernikahan, hukum-hukum shalat, hukum-hukum adzan ; semua ini dengan syari’at Islam. Dan selain itu, seperti hukum-hukum wakaf, semuanya dengan hukum-hukum syari’at. Maka tidak didapati satu negara yang mengganti syari’at Allah (seratus persen). Misalnya kita katakan, negara ini, yaitu dahulu negara Islam, kemudian mengganti syari’at Allah, menghukumi sebagaimana negara Inggris menghukumi dengan undang-undang yang kekafirannya nyata.

Wahai saudara-saudaraku, cukuplah kita membedakan antara negara Islam dengan negara kafir dengan manhaj Ahlus Sunnah, yaitu dengan syi’ar shalat dan iqamat . Maka negara yang ditempati semisal ini, maka itu negara Islam, dan jika dilarang maka itu negara kafir, kita mohon perlindungan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Ini diketahui oleh orang-orang yang pergi ke negara-negara Barat, yaitu anda tidak mendengar adzan shalat. Ini terlarang (di negara mereka). Ini adalah nergara kafir.

Oleh karena itulah, perkataan mereka terhadap riwayat Ibnu Abbas tersebut merupakan perkataan yang mengada-ada terhadap riwayat tersebut ; tidak ada kebenaran dan tidak ada ilmu padanya, dan Allah Ta’ala yang lebih tahu.

[Ceramah Syaikh Salim bin Id Al-Hilali di Masjid Iatiqlal, Jakarta, Ahad 22 Muharram 1428H/10 Pebruari 2007M]
baca selanjutnya »»