Kamis, 28 Maret 2013

HUJJAH ITU BUKAN HANYA SEKEDAR SAMPAI, TAPI JUGA HARUS BISA DI PAHAMI

IQAMATUL HUJJAH MENSYARATKAN TERPENUHINYA PEMAHAMAN YANG BENAR TERHADAP DALIL

Pemahaman yang benar terhadap dalil merupakan suatu hal yang harus dipenuhi supaya iqamatul hujjah atas seorang individu bisa dianggap sah. Seandainya ada seorang hamba belum memahami dalil maka ia tidak berhak dikenai sanksi. Inilah konsekuensi prinsip syariat islam, yang selalu berusaha menghindarkan umatnya dari kesukaran dalam perkara agama. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 78). Dan hal ini merupakan salah satu bentuk manifestasi sifat kasih sayang Alloh, kelembutan, ampunan dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa beriman kepada Alloh dan rasul-Nya secara garis besar, namun ia belum mengetahui ilmu yang mampu menjelaskan kebenaran, maka ia tidak boleh dijatuhi vonis kafir. Kecuali setelah iqamatul hujjah, dimana orang yang menyelisihinya dianggap kafir. Sebab banyak orang yang keliru dalam menakwilkan Al-Qur’an, dan tidak tahu banyak tentang makna ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Apalagi kekhilafan dan kelupaan yang terjadi di umat ini telah dimaafkan. Kesimpulannya: kekufuran tidak terjadi pada diri seseorang kecuali setelah sampainya penjelasan padanya.” (Majmu’ al Fatawa, XII/523, 524)
Ibnul Arabi berkata, “Seseorang yang jahil dan keliru dari kalangan umat islam, andaikata ia melakukan suatu perbuatan kufur atau kesyirikan yang dapat mengakibatkan pelakunya musyrik atau kafir; DIA BERHAK DIBERI UDZUR, LANTARAN KETIDAKTAHUANNYA DAN KEKELIRUANNYA. Kecuali apabila HUJJAH TELAH JELAS DI MATA DIA SEJELAS-JELASNYA, TIDAK SAMAR ATAS ORANG SETINGKAT DIA, dimana bila hal itu ditinggalkan, maka ia akan divonis kafir. Atau jika ia mengingkari suatu ajaran agama yang telah maklum di mata ulama dan orang awam, serta telah mutlak disepakati para ulama, juga diketahui setiap muslim tanpa banyak berpikir dan merenung.” (Tafsir Al Qasimi, V/1307, 1308)
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hambali menceritakan adanya sebagian ulama salaf yang memandang halalnya beberapa hal yang haram, namun demikian mereka tidak dikafirkan, lantaran keyakinan tersebut bersumber dari ta’wil. Kemudian beliau berkata: “Hukum ini berlaku pula bagi orang yang keadaannya mirip mereka. Juga diterapkan atas orang yang tidak mengetahui sesuatu yang wajar untuk diketahui. Orang seperti ini tidak berhak divonis kafir kecuali setelah ia mengetahui hal tersebut dan SYUBHAT DIBERSIHKAN DARI OTAKNYA, kemudian ia tetap bersikeras memandang halalnya hal tersebut.” (Al-Mughni, XII/277)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menerangkan, “(Hukum orang yang mengucapkan perkataan kufur beragam berdasarkan kondisi masing-masing). Terkadang seseorang belum sampai padanya dalil-dalil yang menghantarkan kepada kebenaran. Atau telah sampai kepadanya, tapi dalil tersebut dianggap tidak shahih dimata dia. ATAU KARENA IA TIDAK MAMPU MEMAHAMINYA. Atau bisa jadi juga karena ia terhalang berbagai syubhat, yang Alloh akan memberikan udzur kepadanya, lantaran adanya syubhat-syubhat tersebut. (Majmu’ Fatawa XXIII/346)
Ibnul Qayyim berkata, “Penilaian telah sah atau tidaknya iqamatul hujjah amat berbeda-beda sejalan dengan beragamnya zaman, tempat, dan individu. Bisa jadi hujjah Alloh dianggap telah ditegakkan atas orang-orang kafir di suatu zaman dan tempat, namun di zaman atau tempat lain dianggap belum. Bisa juga dianggap telah berhasil dilakukan atas individu tertentu, tetapi dianggap belum atas individu yang lain; dikarenakan kekurangan akal dan ketidakmampuannya untuk membedakan, sebagaimana halnya kondisi anak kecil dan orang gila. Atau karena KETIDAKPAHAMAN dia, seperti halnya kondisi orang yang tidak bisa memahami perintah dan tidak menemukan penerjemah yang bisa menerjemahkan perintah itu untuknya. Orang yang keadannya semacam ini, dianggap orang tuli yang tidak bisa mendengar apa-apa dan tidak mampu memahaminya. Dia termasuk satu dari empat jenis manusia yang kelak di hari kiamat menyampaikan udzurnya kepada Alloh.” (Thariq al Hijratain)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata: “Apabila kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah patung di atas kubah makam Abdul Qadir, patung yang ada di kubah makam Ahmad Al Badawi dan yang semisalnya, lantaran ketidaktahuan mereka, serta tidak adanya orang yang memberikan penjelasan kepada mereka, bagaimana mungkin kami mengkafirkan orang yang tidak menyekutukan Alloh hanya dengan dalil karena ia tidak berhijrah kepada kami, tidak mengkafirkan, dan tidak berperang?! Maha Suci Alloh, ini merupakan kedustaan yang besar.” (Fatawa wa Masail asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili berkata: “Perkataan Syaikh di atas, “LANTARAN KETIDAK TAHUAN MEREKA, SERTA TIDAK ADANYA ORANG YANG MEMBERIKAN PENJELASAN KEPADA MEREKA”, dan dalam sebagian manuskrip tertulis, “SERTA TIDAK ADANYA ORANG YANG MEMAHAMKAN MEREKA”, adalah nash perkataan beliau yang sangat jelas menunjukkan bahwa beliau MENSYARATKAN PAHAMNYA seseorang TERHADAP HUJJAH supaya IQAMATUL HUJJAH DIANGGAP SAH. Apalagi sebagaimana telah maklum, mereka yang disinggung syaikh di dalam perkataannya di atas adalah orang-orang yang hidup di negri islam, dan Al Qur’an serta Sunnah telah tersebar di tengah-tengah mereka. Hanya saja mereka membutuhkan orang-orang dari kalangan ulama Ahli Sunnah yang menjelaskan hujjah kepada mereka.” (At Takfir wa Dhawabithuh, Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Individu tertentu berhak dikafirkan setelah iqamatul hujjah. Namun sebagaimana telah maklum, yang dimaksud dengan iqamatul hujjah bukan berarti individu yang dituju harus bisa memahami Firman Alloh dan Sabda Rasul-Nya SEPERTI LEVEL PEMAHAMAN ABU BAKAR. Yang benar di saat firman Alloh dan sabda Rasul-Nya telah sampai padanya, serta tidak ada sesuatu apapun yang bisa dijadikan udzur, saat itulah dia dianggap kafir.” (Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili berkata: “Beliau menjelaskan  bahwa pemahaman yang tidak disyaratkan harus terpenuhi dalam iqamatul hujjah adalah pemahaman detail terhadap dalil, seperti level pemahaman Abu Bakar. Maka, sebagian pernyataan syaikh yang dzahirnya tidak mensyaratkan terpenuhinya pemahaman ketika iqamatul hujjah, hendaknya ditafsirkan dengan penafsiran ini. Yakni jenis pemahaman yang tidak disyaratkan terpenuhi dalam iqamatul hujjah adalah jenis pemahaman yang rinci dan detail, bukan jenis pemahaman global yang tanpanya maksud dari dalil tidak bisa diketahui.
Dengan penjelasan di atas, jelaslah bahwa pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sesuai dengan dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah dan sejalan dengan apa yang diyakini para ulama pakar Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa iqamatul hujjah atas seseorang tidak dianggap tuntas kecuali setelah ia MEMAHAMINYA. Dengan pemaparan ini pula, terlihat KEKELIRUAN PENDAPAT YANG MENYATAKAN TIDAK DISYARATKAN TERPENUHINYA PEMAHAMAN DALAM IQAMATUL HUJJAH kepada syaikh.” (At Takfir wa Dhawabithuh, Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili)
PEMBAHASAN ARGUMEN YANG MENYATAKAN TIDAK DISYARATKANNYA PEMAHAMAN TERHADAP DALIL DALAM PROSES PENEGAKKAN HUJJAH (IQAMATUL HUJJAH)
Para ulama yang tidak mensyaratkan dalam iqamatul hujjah harusnya individu yang dituju memahami dalil, mereka berargumen dengan dengan firman Alloh yang artinya,
“Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanya seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan: 44).
Juga ayat-ayat lain yang senada.
Mereka berkata: Ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir tidak memahami dalil. Namun walaupun demikian, iqamatul hujjah tetap dianggap telah dilakukan atas mereka.
Jawabannya:
Imam Asy-Syaukani menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, mereka SEPERTI binatang ternak yang tidak memiliki pemahaman dan akal, dikarenakan mereka tidak memperoleh manfaat dari apa yang dia dengar. Maka janganlah engkau terlalu berharap mereka (mendapatkan hidayah), karena pendengaran dan akal mereka tidak berfungsi. Walaupun pada hakikatnya mereka MENDENGAR APA YANG DIUCAPKAN dan MEMAHAMI APA YANG DIBACAKAN, namun mereka tidak memetik manfaat apapun dari hal itu. Bahkan seakan-akan mereka seperti orang yang tidak memiliki indra pendengaran serta akal.” (Fath al-Qadir, IV/78)
Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya, “Ha mim. (Al-Qur’an ini) diturunkan dari Rabb Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kitab-kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya), lalu tidak mendengarkan.” (QS. Fushshilat: 1-4)
Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili berkata:
Pertama, Alloh menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengetahui. Imam Asy-Syaukani menguraikan, “Maksudnya, mereka mengetahui makna Al-Qur’an dan memahaminya, karena mereka adalah orang yang paham bahasa arab.” (Fath al-Qadir IV/505). Ini adalah hakikat pertama.
Kedua, Alloh menyebutkan bahwa mereka berpaling. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya)”. Ini adalah hakikat kedua.
Ketiga, Alloh memberitahukan bahwasannya hati mereka, “Tidak mendengarkan.” Ini adalah fase penguncian hati dan pendengaran serta penjatuhan hukuman. Dan ini adalah hakikat ketiga.
Dengan pemaparan di atas, jelaslah bahwa maksud dari pemberitahuan Alloh bahwa orang-orang kafir dan kaum munafiqin tidak memiliki pendengaran, akal, dan pemahaman, serta penyerupaan mereka dengan binatang ternak. Hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka tidak memahami dalil-dalil Alloh dan perintah-perintah-Nya tatkala disampaikan kepada mereka. Namun justru ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa mereka memiliki indra pendengaran, penglihatan dan akal, yang dengannya iqamatul hujjah dianggap telah tuntas atas mereka. Kemudian tatkala mereka berpaling darinya, hati merekapun di tutup, sehingga mereka tidak bisa untuk memanfaatkannya kembali.
Justru ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang kafir telah memahami dalil, dan mereka tidaklah dihukum dengan penguncian mati serta penutupan hati dan pendengaran, melainkan tatkala mereka berpaling dari dalil, sesudah mereka memahami dan mengerti maksudnya. Al-Qur’an dan As-Sunnah menegaskan hal ini, juga menetapkan bahwa iqamatul hujjah atas seorang individu tidak dianggap sah melainkan setelah ia memahami dalil dan mengerti maksudnya. Tanpa terpenuhinya hal ini, tidak mungkin terbayang apa makna dari iqamatul hujjah.
[Disadur dari buku “Penjatuhan Vonis Kafir dan Aturannya” tulisan Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili. Darus Sunnah. Jakarta, 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar