Kamis, 10 Juli 2014

“HAKEKAT DEMOKRASI DAN PEMILU”

 istana negaraSaudaraku kaum muslimin, banyak diantara pembaca situs ini yang menanyakan tentang apa yang sekarang ini banyak dibicarakan oleh masyarakat di negeri kita Indonesia tercinta ini, yakni tentang Pesta Demokrasi Rakyat yang lebih dikenal dengan Pemilihan Umum atau Pemilu.
Untuk mengetahui apa sesungguhnya hakekat dari demokrasi dan pemilu itu, mari kita melihat kepada bimbingan para ulama yang terpercaya, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafunas Sholih (para pendahulu umat ini yang sholih, yakni para Sahabat Rosululloh, para Tabi’in dan Atba’ut Tabi’in)
Dalam kesempatan ini, kami akan nukilkan bagaimana bimbingan guru kami, yakni Syaikh Al-‘Allamah Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh, tentang masalah ini. Kami akan nukilkan tulisan dan jawaban ringkas karya beliau, dari kitab Al-Mabadi’ul Mufidah fit Tauhid wal Fiqh wal Aqidah. Selanjutnya kami akan berikan catatan atau penjelasan seperlunya, agar lebih bisa dipahami.
Pada Soal (pertanyaan) ke-46 dari kitab tersebut, tertulis : “Apabila ditanyakan kepadamu : “Apa hakekat Demokrasi itu ?” Maka Jawablah : “Demokrasi itu adalah hukum kolektif individu-individu manusia itu sendiri, bukan (yang berasal) dari Kitabulloh (Al-Qur’an) dan bukan pula (dari) Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.”
Soal ke-47 : “Apabila ditanyakan kepadamu : “Apa hukumnya (demokrasi tersebut) ?” Maka jawablah : “Demokrasi itu adalah Syirik Akbar (yakni perbuatan Syirik (menyekutukan Alloh Ta’ala), yang sangat besar, edt.). Dalilnya adalah firman Alloh Ta’ala :
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“Hukum (keputusan) itu hanyalah kepunyaan Allah….” (QS Yusuf : 40)
Juga firman Alloh Ta’ala :
وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا (٢٦)
“Dan Dia (Alloh) tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum (keputusan)”. (QS Al-kahfi : 26)
Soal ke-48 : “Apabila ditanyakan kepadamu : “Apa hakekat Intikhobat (pemilu) itu ?” Maka jawablah : “Pemilu itu adalah bagian dari aturan-aturan Demokrasi, yang membuang atau mengesampingkan syari’at Alloh yang haq. Dan pemilu itu adalah (perbuatan) tasyabbuh (meniru-niru/menyerupai) orang-orang kafir. Padahal tasyabbuh dengan mereka itu adalah tidak boleh. Dan di dalam pemilu itu sendiri, terdapat banyak bahaya/kerusakan, tidak ada di dalamnya kemanfaatan dan faedah apapun bagi kaum muslimin. Diantara kerusakan yang paling menonjol adalah : “Persamaan antara Al-Haq (kebenaran) dan Al-Bathil (kebatilan). Juga persamaan antara orang-orang yang berada di atas jalan yang benar dengan orang-orang yang berada di atas kebatilan, sesuai dengan jumlah (suara) terbanyak. Di dalam pemilu juga terdapat penyia-nyiaan terhadap prinsip Al-Wala’ (loyalitas) dan Al-Baro’(sikap berlepas diri), merobek atau mengoyak persatuan kaum muslimin, menebar permusuhan dan kebencian, dan juga Tahazzub (bergolong-golongan/berkelompok) dan Ta’asshub (sikap fanatik pada golongan/kelompok tertentu) di antara mereka. (Di dalamnya juga terdapat) Al-Ghisy (tipu daya), Al-Khida’ (tipu muslihat), Al-Ihtiyaal (siasat licik), Az-Zuur (kedustaan), menyia-nyiakan waktu dan harta benda, dan juga menyia-nyiakan rasa malu/kehormatan para wanita, serta mengguncangkan kekokohan ilmu syari’at Islam dan para pelakunya (ulama dan para penuntut ilmu, edt.).”
Soal ke-49 : “Apabila ditanyakan kepadamu : “Apa hukumnya Hizbiyyah itu (yakni bergolong-golongan/berkelompok/berpartai-partai, lalu bersikap fanatik terhadap kelompok tersebut, edt.) ?” Maka jawablah : “Hizbiyyah itu adalah harom, kecualiHizbulloh (golongannya Alloh Ta’ala). Dalilnya adalah firman Alloh Ta’ala :
وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٣١)مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (٣٢)
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS Ar-Ruum : 31-32)
Juga firman Alloh Ta’ala :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا …..(١٠٣)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai….” (QS Ali Imron : 103)
Dan juga firman Alloh Ta’ala :
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ (٩٢)
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu (maksudnya adalah : yang sama dalam pokok-pokok kepercayaan dan pokok-pokok syari’at, edt.), dan aku adalah Robb-mu, maka sembahlah aku.” (QS Al-Anbiya’ : 92)
Dan juga firman-Nya :
أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٢٢)
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah (golongan Alloh) itu adalah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadalah : 22)
Dari Abdulloh bin Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhuma dia berkata, rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “…….umatku ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan saja.” Mereka (para sahabat) bertanya : “Siapakah mereka itu, wahai Rosululloh ?” Beliau menjawab : “(Mereka adalah orang-orang yang berjalan) di atas perkara yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya (yakni mereka yang benar-benar menempuh jalannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, edt.).” (HRImam At-Tirmidzi (5/26), hadits ini mempunyai penguat, yaitu hadits Mu’awiyyah rodhiyallohu ‘anhu, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 4597 danAhmad (4/102), dan juga mempunyai penguat yang lainnya, sehingga hadits ini derajatnya Hasan)
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : (“Semuanya di dalam neraka”), dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang keadaan Ahlul Ahwa’ (para pengekor hawa nafsu) dan akibat buruk bagi mereka. (selesai penukilan dari kitab beliau).
(lihat :  Al-Mabadi’ul Mufidah fit Tauhid wal Fiqh wal Aqidah, hal. 29-31)

Catatan (dari penulis):
(1). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “Demokrasi itu adalah hukum kolektif individu-individu manusia itu sendiri, bukan (yang berasal) dari Kitabulloh (Al-Qur’an) dan bukan pula (dari) Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.”
Ya, benarlah apa yang beliau nyatakan. Demokrasi itu sendiri adalah sebuah ide/pemikiran yang diadopsi dari Yunani (negara musyrik penyembah para dewa) untuk membentuk sebuah pemerintahan/negara. Demokrasi adalah sebuah bentuk/sistem pemerintahan yang semua warganya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan, yang (katanya) dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan semua warga negaranya berpartisipasi – baik secara langsung maupun melalui perwakilan, dalam perumusan, atau pengembangan dan pembuatan “hukum”. Demokrasi mencakup perkara kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, yang memungkinkan adanya praktik “kebebasan politik” secara bebas dan merata.
Kata demokrasi itu sendiri, berasal dari bahasa Yunani “Demokratia” (kekuasaan rakyat), yang terbentuk dari dua kata : “Demos” (rakyat) dan “Kratos” (kekuasaan). (lihat pengertian ini di situs Wikipedia – ensiklopedia bebas)
Maka ditinjau dari asal muasalnya saja sudah sangat jauh dari tuntunan agama yang haq. Kami meyakini, bahwa segala sesuatu yang diluar perkara yang haq adalahdholal (kesesatan). Alloh Ta’ala berfirman :
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ (٣٢)
“…….. Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?.” (QS Yunus : 32)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ (١٤)
“Dan doa (ibadahnya) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (QS Ar-Ro’du : 14 dan Ghofir : 50)
Ya, demokrasi termasuk diantara kesesatan dan amalan yang sia-sia. Maka apakah kaum muslimin rela dengan perkara yang sesat dan sia-sia amalannya ? Coba renungkanlah !
(2). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “Demokrasi itu adalah Syirik Akbar (yakni perbuatan Syirik (menyekutukan Alloh Ta’ala), yang sangat besar, edt.).”
Ya, benarlah Syaikh hafidzhohulloh. Dikatakan syirik akbar (syirik yang besar), karena di dalamnya mengandung kesyirikan (menyekutukan Alloh Ta’ala) dalam hal pembuatan dan penetapan hukum, khususnya hukum yang terkait dengan kemaslahatan manusia (orang banyak). Apalagi, sumber pengambilan hukumnya bukan dari Kitabulloh (Al-Qur’an) atau dari Sunnah (hadits-hadits) Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tetapi dari pendapat-pendapat akal manusia dan lebih mementingkannya daripada hukum syari’at agama yang haq.
Alloh Ta’ala telah berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (٤٤)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah : 44)
As-Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhohulloh menjelaskan : “Di dalam ayat yang mulia ini (terdapat penjelasan), bahwa berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Alloh (yakni Al-Qur’an), adalah kekufuran. Dan kekufuran ini terkadang bentuknya kufur akbar (kufur besar), yang bisa mengeluarkan seseorang dari agama ini (murtad). Dan terkadang bentuknya kufur asghor (kufur kecil), yang tidak mengeluarkan dari agama ini. Yang demikian itu sesuai dengan keadaan hakim (orang yang membuat keputusan hukum). Jika dia berkeyakinan bahwa berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Alloh itu tidak wajib, dan boleh memilih baginya, atau dia merendahkan hukum Alloh tersebut, dan juga berkeyakinan bahwa undang-undang atau peraturan-peraturan terkini (modern) lebih baik dari hukum Alloh, atau hukumnya sama dengan hukum Alloh, atau meyakini bahwa hukum Alloh itu tidak memberikan kemaslahatan bagi umat manusia di jaman ini, atau dia sengaja menginginkan hukum selain dari apa yang telah diturunkan oleh Alloh, karena untuk mencari keridhoan orang-orang kafir dan munafik, maka ini (semua) adalah “KUFUR AKBAR”.
Sedangkan jika dia berkeyakinan wajibnya berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Alloh, dan dia mengetahui hal itu secara kenyataan, tetapi dia berpaling dari hukum Alloh,  bersamaan dengan dia mengetahui bahwa Alloh adalah Dzat yang berhak memberikan hukuman (bagi siapa saja yang berpaling dari hukumnya), maka dia (dihukumi sebagai) orang yang berbuat maksiat (durhaka), dan hal ini dinamai sebagai KUFUR ASGHOR (kufur kecil).
Jika dia jahil (tidak mengerti) hukum Alloh, tetapi dia telah bersungguh-sungguh berusaha menegakkan hukum itu (dengan ijtihadnya), dan dia telah berusaha meluangkan kesempatannya untuk mengenal (dan mengamalkan) hukum Alloh tersebut, tetapi dia ternyata telah keliru (tersalah), maka dia dalam hal ini dianggap sebagai orang yang keliru/tersalah (orang yang salah dalam ijtihadnya), maka baginya mendapat pahala atas ijtihadnya, sedangkan kesalahannya insya Alloh diampuni.” (Aqidatut Tauhid, wa Bayanu Maa Yudhoduha au Yanqushuha (hal. 145-146), karya Syaikh Al-Fauzan hafidzhohulloh, lihat jugaSyarh Ath-Thohawiyyah, hal. 363-364)     
(3). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “Diantara kerusakan yang paling menonjol adalah : “Persamaan antara Al-Haq (kebenaran) dan Al-Bathil (kebatilan)….. dst.”
Ya, dalam pemilu tidak ada perbedaan antara al-haq dan al-bathil, semua sama menurut hawa nafsu mereka. Dan sungguh ini adalah kebathilan yang sangat nyata.
Padahal, Alloh Ta’ala menegaskan, tidak sama antara yang baik dan yang buruk itu, sebagaimana dalam firman-Nya :
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ……..(٣٤)
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan…” (QS Fushshilat : 34)
Juga tidak sama antara orang yang buta dengan orang yang melihat, tidak sama pula antara kegelapan dan cahaya yang terang benderang, sebagaimana dalam firman-Nya :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ
“Katakanlah: “Adakah sama orang yang buta dan orang yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang ?” (QS Ar-Ro’d : 16)
Tidak sama pula kedudukan antara orang yang beriman dengan orang-orang yang fasik (banyak berbuat durhaka/maksiat), Alloh tegaskan itu dalam firman-Nya :
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ (١٨)
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama.” (QS As-Sajdah : 18)
Juga tidak sama antara barang yang baik dengan barang yang jelek, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya :
قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠٠)
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah : 100)
Tidak sama pula antara kehidupan dan kematian :
وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)
“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar (maksudnya adalah :  Nabi Muhammad tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya, edt.).” (QS Fathir : 22 )
Dan yang terakhir, sungguh tidak sama pula antara orang yang berilmu dengan orang-orang yang bodoh, sebagaimana ditegaskan dalam firman Alloh Ta’ala :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ (٩)
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az-Zumar : 9)
Cukuplah dalil-dalil ini sebagai peringatan keras bagi para pengagum dan pembela demokrasi dan pemilu. Bagaimana mungkin seorang muslim ikut-ikutan membenarkan persamaan antara al-haq dan al-bathil ? Sadarlah wahai saudaraku..!
(4). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “…. juga persamaan antara orang-orang yang berada di atas jalan yang benar dengan orang-orang yang berada di atas kebatilan, sesuai dengan jumlah (suara) terbanyak….”
Ya, dalam sistem demokrasi, suara terbanyak adalah kebenaran dan kemenangan, tidak peduli apakah suara terbanyak itu suaranya para bandit, penjilat, pezina atau suara orang yang baik. Yang penting banyak pendukungnya dan pengikutnya, itulah kebenaran. Adapun yang sedikit dan minoritas, itulah kebathilan.
Sungguh, prinsip dan pandangan hidup seperti ini sangat jauh dari tuntunan dan petunjuk agama Islam yang mulia. Bahkan ini adalah prinsip hidupnya orang-orang jahiliyyah dahulu. Alloh Ta’ala menjelaskan hal itu dalam banyak firman-Nya, diantaranya :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ (١١٦)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS Al-An’am : 116)
Hal itu karena mayoritas (kebanyakan) manusia itu jahil (bodoh), dan fasik (banyak bermaksiat kepada Alloh). Alloh Ta’ala tunjukkan hal itu dalam firman-Nya :
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (١٨٧)
“…. tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Al-A’rof : 187)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَمَا وَجَدْنَا لأكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ (١٠٢)
“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (QS Al-A’rof : 102)
Maka dari sini kita paham, bahwa yang dijadikan “ibroh” (pelajaran/ukuran kebenaran) bukanlah jumlah yang banyak, tetapi ibroh itu adalah kebenaran itu sendiri dan sikap hidup yang mencocoki kebenaran. Ya, apabila yang banyak itu mencocoki kebenaran, maka hal itu sangat bagus. Tetapi sunnatulloh(takdir/ketentuan Alloh) justru berlaku yang sebaliknya, yakni kebanyakan manusia ini senang di atas kebathilan.
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (١٠٣)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS Yusuf : 103)
Nah, wahai saudaraku kaum muslimin, jangan tertipu dengan  jumlah yang banyak. Islam mengingatkan kita dari hal itu, sedangkan justru demokrasi mendorong orang untuk berjalan di atas suara mayoritas. Manakah yang benar ? Jelas jalan Islam adalah jalan kebenaran. Maka camkanlah ini !
(5). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “Di dalam pemilu juga terdapat penyia-nyiaan terhadap prinsip Al-Wala’ (loyalitas) dan Al-Baro’ (sikap berlepas diri), merobek atau mengoyak persatuan kaum muslimin, menebar permusuhan dan kebencian….. dst.”
Demikianlah kenyataannya, prinsip Al-Wala’ dan Al-Baro’ seorang muslim menjadi luntur akibat mengikuti “hawa nafsu” dan tuntutan demokrasi. Al-Wala’ (sikap loyalitas, kecintaan, pembelaan) yang seharusnya diberikan kepada sesama muslim yang sholih, berubah bisa diberikan kepada siapapun, meski kepada orang kafir ataupun fasik sekalipun, semuanya demi menghidupkan prinsip demokrasi. Demikian pula sikap Al-Baro’ (sikap berlepas diri, memberikan kebencian dan permusuhan), yang sepantasnya ditujukan kepada orang-orang kafir, fasiq maupun ahlul bid’ah, berubah menjadi mencintai dan membela mereka, demi alasan dan tuntutan demokrasi.
Padahal Alloh Ta’ala berfirman tentang keteladanan yang dicontohkan oleh Nabiyulloh Ibrohim ‘alaihis salam dalam masalah Al-Wala’ dan Al-Baro’ ini :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ لأسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (٤)
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka (yang musyrik/kafir) : “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya, sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya : “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS Al-Mumtahanah : 4)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan tentang prinsip Al-Wala’ dan Al-Baro’, seperti yang disebutkan dalam firman Alloh Ta’ala :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (٢٩)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud (yakni pada air muka mereka kelihatan keimanan dan kesucian hati mereka, edt.). Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Fath : 29)
Juga sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Alloh Ta’ala :
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْإِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٢٢)
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya, dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka Itulah Hizbulloh (golongan Allah). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah : 22)
Inilah prinsip Al-Wala’ dan Al-Baro’ yang dibimbing oleh syari’at Islam yang mulia. Tetapi di hadapan demokrasi dan pemilu, semuanya bisa dilunturkan atau bahkan dilumatkan, karena tidak sesuai dengan “semangat” demokrasi. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roji’un.
(6). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “……. dan juga Tahazzub (bergolong-golongan/berkelompok) dan Ta’asshub (sikap fanatik pada golongan/kelompok tertentu) di antara mereka. (Di dalamnya juga terdapat) Al-Ghisy (tipu daya), Al-Khida’ (tipu muslihat), Al-Ihtiyaal (siasat licik), Az-Zuur (kedustaan), menyia-nyiakan waktu dan harta benda, dan juga menyia-nyiakan rasa malu/kehormatan para wanita, serta mengguncangkan kekokohan ilmu syari’at Islam dan para pelakunya (ulama dan para penuntut ilmu, edt.).”
Allohul Musta’an…., inilah musibah atau bencana demokrasi. Diantaranya adalah pengagungan terhadap Hizbiyyah (bergolongan-golongan, kelompok atau partai), diiringi dengan sikap ta’asshub (fanatik atau sikap membabi buta dalam melakukan pembelaan dan kecintaan, tanpa memperhatikan benar ataupun salah menurut tuntunan agama yang haq ini)
Padahal dalam prinsip-prinsip agama Islam yang haq ini, justru Alloh Ta’ala memerintahkan kita untuk menyelisihi jalan mereka (orang-orang yang fanatik terhadap hizb mereka). Alloh Ta’ala berfirman :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٥٣)
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS Al-An’am : 153)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٣١)مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (٣٢)
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka ( yakni dengan meninggalkan agama tauhid dan menganut berbagai kepercayaan menurut hawa nafsu mereka, edt.), dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS Ar-Ruum : 31-32)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٥)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS Ali Imron : 105)
Disamping itu, Alloh juga melarang kita dari berpecah belah, sebagaimana dalam firman-Nya :
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ……..(١٣)
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya….” (QS As-Syuro : 13)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٠٣)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; padahal kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali Imron : 103)
Perhatikanlah dengan seksama wahai saudaraku, demokrasi dan pestanya itu (yakni pemilu), sungguh sangat jauh dari jalan Islam. Bahkan sangat jelas dan terang-terangan bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam yang lurus ini. Islam mengajak kita di suatu jalan yang jelas lurusnya tanpa ada kebengkokan sedikitpun, sementara itu demokrasi mengajak kepada kesesatan dan kebinasaan, meski menurut para pengagumnya demokrasi adalah cara terbaik dalam berbangsa dan bernegara.
Maka dari penjelasan dan jawaban ringkas dari guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh tersebut di atas, ditambah sedikit keterangan yang kami sampaikan, semoga menjadi jelas bagi kita, bagaimana sesungguhnya hakekat demokrasi dan pemilu itu.
Maka bagi orang-orang yang menginginkan keselamatan agamanya, sudah tentu akan menjauhi prinsip-prinsip demokrasi dengan segala perangkatnya, termasuk pemilu. Semoga uraian yang sederhana ini bermanfaat bagi penulisnya, dan juga bagi saudara-saudara kami seluruh kaum muslimin dimana saja.
Wallohu a’lam bis showab !
(Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby)



baca selanjutnya »»  

Rabu, 18 Juni 2014

HUKUM PAJAK & PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membiarkan manusia saling menzhalimi satu dengan yang lainnya, Allah dengan tegas mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Nya, juga atas segenap makhluk-Nya. [1] Kezhaliman dengan berbagai ragamnya telah menyebar dan berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, dan ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” [HR Bukhari kitab Al-Buyu : 7]

Di antara bentuk kezhaliman yang hampir merata di tanah air kita adalah diterapkannya sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum, terutama kaum muslimin, dengan alasan harta tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama. Untuk itulah, akan kami jelaskan masalah pajak ditinjau dari hukumnya dan beberapa hal berkaitan dengan pajak tersebut, di antaranya ialah sikap kaum muslimin yang harus taat kepada pemerintah dalam masalah ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

DEFINISI PAJAK

Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr [2] atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak” [3]. Atau suatu ketika bisa disebut Al-Kharaj, akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.[4]

Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar.

Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[5]

MACAM-MACAM PAJAK

Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
- Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Barang dan Jasa
- Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
- Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
- Pajak Transit/Peron dan sebagainya.

ADAKAH PAJAK BUMI/KHARAJ DALAM ISLAM?

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.

1). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.

2). Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi ; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.

HUKUM PAJAK DAN PEMUNGUTNYA MENURUT ISLAM

Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.

Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-NIsa : 29]

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” [6]

Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah ; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.

“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata ; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah : “(Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib” [7]

Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716]

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Lihat : Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]

KESEPAKATAN ULAMA ATAS HARAMNYA PAJAK

Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” [8]

PAJAK BUKAN ZAKAT

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..” [9]

Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.

1). Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya [10]. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.

2). Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir [11] karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin

3). Yang dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak. [12].

4). Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang cicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya. [Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim]


PERSAKSIAN PARA SALAFUSH SHALIH TENTANG PAJAK

1). Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya” [Syarh Ma’anil Atsar 2/31]

2). Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah.

“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud : 85]

Kemudian beliau melanjutkan : “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya” [Ahkam Ahli Dzimmah 1/331]

3). Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam [13]

4) Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366) : “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)”

5). Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr. Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat zhalim. Wallahu a’lam.

6). Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan : “Kata Shahibul Maks adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”.

7). Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan : “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.

PEMERINTAH BERHAK ATAS RAKYATNYA

Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ; “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”

Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra : 26]

Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat An-Nisa ; 36, Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa : “Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah” [HR Muslim : 66], semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah: [16]

BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?

Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata, timbul pertanyaan : “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar dari praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”

Jawabnya.
Setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat” [15]

Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim). [16]

Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.

“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]

Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu) [17]

DIANTARA SUMBER PEMASUKAN NEGARA

Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ialah.

1). Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah : 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun generasi berikutnya.

2). Harta warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal. [18]

3). Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya. [19]

4). Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal : 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr : 7, yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga) melalui mal.

5). Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam point : Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?”, diatas.

6). Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama.

7). Hasil tambang dan semisalnya.

Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah, selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik negara.

PENUTUP

Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti, kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di antara sebabnya yang terbesar tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum : 41]

Di antara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak.

Maka hal ini dapat kita jawab : Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya), mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah berfirman.

“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf : 96]

Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal. Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang nampak atau yang samara.

Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah (di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala laranganNya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan dari bumi.

Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun, tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah yang mereka harapkan. Allahu A’lam.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

Artikel Terkait:

HUKUM KERJA DI KANTOR PAJAK:
http://www.facebook.com/note.php?created&&suggest&note_id=10150170351455175

__________
Footnotes
[1]. Lihat Ali-Imran : 117 dan HR Muslim 2578 dari jalan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu.
[2]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182
[3]. Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi
[4]. Lihat Al-Mughni 4/186-203
[5]. Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut.
[6]. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.
[7]. Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani
[8]. Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.
[9]. Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini
[10]. Lihat At-Taubah : 60
[11]. Lihat Al-Mughni 4/200
[12]. Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366
[13]. Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’ Al-Ulum wal Hikam hal. 157
[14]. Asal perkataan ini dinukil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah, dengan penyesuaian. (Lihat. Al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282
[15]. HR Muslim : 1855 dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu
[16]. Hadits no. 28 dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud no 2676, dan Ahmad 4/126.
[17]. Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93
[18]. Lihat Al-Khulashoh Fi Ilmi Al-Faro’idh hal. 375-385
[19]. Lihat Lisan Al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya At-Turots

http://www.almanhaj.or.id/content/2437/slash/0
http://www.almanhaj.or.id/content/2438/slash/0
baca selanjutnya »»