Untuk mengetahui apa sesungguhnya hakekat dari demokrasi dan pemilu itu, mari kita melihat kepada bimbingan para ulama yang terpercaya, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafunas Sholih (para pendahulu umat ini yang sholih, yakni para Sahabat Rosululloh, para Tabi’in dan Atba’ut Tabi’in)
Dalam kesempatan ini, kami akan nukilkan bagaimana bimbingan guru kami, yakni Syaikh Al-‘Allamah Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh, tentang masalah ini. Kami akan nukilkan tulisan dan jawaban ringkas karya beliau, dari kitab Al-Mabadi’ul Mufidah fit Tauhid wal Fiqh wal Aqidah. Selanjutnya kami akan berikan catatan atau penjelasan seperlunya, agar lebih bisa dipahami.
Pada Soal (pertanyaan) ke-46 dari kitab tersebut, tertulis : “Apabila ditanyakan kepadamu : “Apa hakekat Demokrasi itu ?” Maka Jawablah : “Demokrasi itu adalah hukum kolektif individu-individu manusia itu sendiri, bukan (yang berasal) dari Kitabulloh (Al-Qur’an) dan bukan pula (dari) Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.”
Soal ke-47 : “Apabila ditanyakan kepadamu : “Apa hukumnya (demokrasi tersebut) ?” Maka jawablah : “Demokrasi itu adalah Syirik Akbar (yakni perbuatan Syirik (menyekutukan Alloh Ta’ala), yang sangat besar, edt.). Dalilnya adalah firman Alloh Ta’ala :
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“Hukum (keputusan) itu hanyalah kepunyaan Allah….” (QS Yusuf : 40)
Juga firman Alloh Ta’ala :
وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا (٢٦)
“Dan Dia (Alloh) tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum (keputusan)”. (QS Al-kahfi : 26)
Soal ke-48 : “Apabila ditanyakan kepadamu : “Apa hakekat Intikhobat (pemilu) itu ?” Maka jawablah : “Pemilu itu adalah bagian dari aturan-aturan Demokrasi, yang membuang atau mengesampingkan syari’at Alloh yang haq. Dan pemilu itu adalah (perbuatan) tasyabbuh (meniru-niru/menyerupai) orang-orang kafir. Padahal tasyabbuh dengan mereka itu adalah tidak boleh. Dan di dalam pemilu itu sendiri, terdapat banyak bahaya/kerusakan, tidak ada di dalamnya kemanfaatan dan faedah apapun bagi kaum muslimin. Diantara kerusakan yang paling menonjol adalah : “Persamaan antara Al-Haq (kebenaran) dan Al-Bathil (kebatilan). Juga persamaan antara orang-orang yang berada di atas jalan yang benar dengan orang-orang yang berada di atas kebatilan, sesuai dengan jumlah (suara) terbanyak. Di dalam pemilu juga terdapat penyia-nyiaan terhadap prinsip Al-Wala’ (loyalitas) dan Al-Baro’(sikap berlepas diri), merobek atau mengoyak persatuan kaum muslimin, menebar permusuhan dan kebencian, dan juga Tahazzub (bergolong-golongan/berkelompok) dan Ta’asshub (sikap fanatik pada golongan/kelompok tertentu) di antara mereka. (Di dalamnya juga terdapat) Al-Ghisy (tipu daya), Al-Khida’ (tipu muslihat), Al-Ihtiyaal (siasat licik), Az-Zuur (kedustaan), menyia-nyiakan waktu dan harta benda, dan juga menyia-nyiakan rasa malu/kehormatan para wanita, serta mengguncangkan kekokohan ilmu syari’at Islam dan para pelakunya (ulama dan para penuntut ilmu, edt.).”
Soal ke-49 : “Apabila ditanyakan kepadamu : “Apa hukumnya Hizbiyyah itu (yakni bergolong-golongan/berkelompok/berpartai-partai, lalu bersikap fanatik terhadap kelompok tersebut, edt.) ?” Maka jawablah : “Hizbiyyah itu adalah harom, kecualiHizbulloh (golongannya Alloh Ta’ala). Dalilnya adalah firman Alloh Ta’ala :
وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٣١)مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (٣٢)
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS Ar-Ruum : 31-32)
Juga firman Alloh Ta’ala :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا …..(١٠٣)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai….” (QS Ali Imron : 103)
Dan juga firman Alloh Ta’ala :
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ (٩٢)
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu (maksudnya adalah : yang sama dalam pokok-pokok kepercayaan dan pokok-pokok syari’at, edt.), dan aku adalah Robb-mu, maka sembahlah aku.” (QS Al-Anbiya’ : 92)
Dan juga firman-Nya :
أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٢٢)
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah (golongan Alloh) itu adalah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadalah : 22)
Dari Abdulloh bin Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhuma dia berkata, rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “…….umatku ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan saja.” Mereka (para sahabat) bertanya : “Siapakah mereka itu, wahai Rosululloh ?” Beliau menjawab : “(Mereka adalah orang-orang yang berjalan) di atas perkara yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya (yakni mereka yang benar-benar menempuh jalannya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, edt.).” (HRImam At-Tirmidzi (5/26), hadits ini mempunyai penguat, yaitu hadits Mu’awiyyah rodhiyallohu ‘anhu, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 4597 danAhmad (4/102), dan juga mempunyai penguat yang lainnya, sehingga hadits ini derajatnya Hasan)
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam : (“Semuanya di dalam neraka”), dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang keadaan Ahlul Ahwa’ (para pengekor hawa nafsu) dan akibat buruk bagi mereka. (selesai penukilan dari kitab beliau).
(lihat : Al-Mabadi’ul Mufidah fit Tauhid wal Fiqh wal Aqidah, hal. 29-31)
Catatan (dari penulis):
(1). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “Demokrasi itu adalah hukum kolektif individu-individu manusia itu sendiri, bukan (yang berasal) dari Kitabulloh (Al-Qur’an) dan bukan pula (dari) Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.”
Ya, benarlah apa yang beliau nyatakan. Demokrasi itu sendiri adalah sebuah ide/pemikiran yang diadopsi dari Yunani (negara musyrik penyembah para dewa) untuk membentuk sebuah pemerintahan/negara. Demokrasi adalah sebuah bentuk/sistem pemerintahan yang semua warganya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan, yang (katanya) dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan semua warga negaranya berpartisipasi – baik secara langsung maupun melalui perwakilan, dalam perumusan, atau pengembangan dan pembuatan “hukum”. Demokrasi mencakup perkara kondisi sosial, ekonomi, dan budaya, yang memungkinkan adanya praktik “kebebasan politik” secara bebas dan merata.
Kata demokrasi itu sendiri, berasal dari bahasa Yunani “Demokratia” (kekuasaan rakyat), yang terbentuk dari dua kata : “Demos” (rakyat) dan “Kratos” (kekuasaan). (lihat pengertian ini di situs Wikipedia – ensiklopedia bebas)
Maka ditinjau dari asal muasalnya saja sudah sangat jauh dari tuntunan agama yang haq. Kami meyakini, bahwa segala sesuatu yang diluar perkara yang haq adalahdholal (kesesatan). Alloh Ta’ala berfirman :
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ (٣٢)
“…….. Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?.” (QS Yunus : 32)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ (١٤)
“Dan doa (ibadahnya) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (QS Ar-Ro’du : 14 dan Ghofir : 50)
Ya, demokrasi termasuk diantara kesesatan dan amalan yang sia-sia. Maka apakah kaum muslimin rela dengan perkara yang sesat dan sia-sia amalannya ? Coba renungkanlah !
(2). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “Demokrasi itu adalah Syirik Akbar (yakni perbuatan Syirik (menyekutukan Alloh Ta’ala), yang sangat besar, edt.).”
Ya, benarlah Syaikh hafidzhohulloh. Dikatakan syirik akbar (syirik yang besar), karena di dalamnya mengandung kesyirikan (menyekutukan Alloh Ta’ala) dalam hal pembuatan dan penetapan hukum, khususnya hukum yang terkait dengan kemaslahatan manusia (orang banyak). Apalagi, sumber pengambilan hukumnya bukan dari Kitabulloh (Al-Qur’an) atau dari Sunnah (hadits-hadits) Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tetapi dari pendapat-pendapat akal manusia dan lebih mementingkannya daripada hukum syari’at agama yang haq.
Alloh Ta’ala telah berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (٤٤)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah : 44)
As-Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzhohulloh menjelaskan : “Di dalam ayat yang mulia ini (terdapat penjelasan), bahwa berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Alloh (yakni Al-Qur’an), adalah kekufuran. Dan kekufuran ini terkadang bentuknya kufur akbar (kufur besar), yang bisa mengeluarkan seseorang dari agama ini (murtad). Dan terkadang bentuknya kufur asghor (kufur kecil), yang tidak mengeluarkan dari agama ini. Yang demikian itu sesuai dengan keadaan hakim (orang yang membuat keputusan hukum). Jika dia berkeyakinan bahwa berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Alloh itu tidak wajib, dan boleh memilih baginya, atau dia merendahkan hukum Alloh tersebut, dan juga berkeyakinan bahwa undang-undang atau peraturan-peraturan terkini (modern) lebih baik dari hukum Alloh, atau hukumnya sama dengan hukum Alloh, atau meyakini bahwa hukum Alloh itu tidak memberikan kemaslahatan bagi umat manusia di jaman ini, atau dia sengaja menginginkan hukum selain dari apa yang telah diturunkan oleh Alloh, karena untuk mencari keridhoan orang-orang kafir dan munafik, maka ini (semua) adalah “KUFUR AKBAR”.
Sedangkan jika dia berkeyakinan wajibnya berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Alloh, dan dia mengetahui hal itu secara kenyataan, tetapi dia berpaling dari hukum Alloh, bersamaan dengan dia mengetahui bahwa Alloh adalah Dzat yang berhak memberikan hukuman (bagi siapa saja yang berpaling dari hukumnya), maka dia (dihukumi sebagai) orang yang berbuat maksiat (durhaka), dan hal ini dinamai sebagai KUFUR ASGHOR (kufur kecil).
Jika dia jahil (tidak mengerti) hukum Alloh, tetapi dia telah bersungguh-sungguh berusaha menegakkan hukum itu (dengan ijtihadnya), dan dia telah berusaha meluangkan kesempatannya untuk mengenal (dan mengamalkan) hukum Alloh tersebut, tetapi dia ternyata telah keliru (tersalah), maka dia dalam hal ini dianggap sebagai orang yang keliru/tersalah (orang yang salah dalam ijtihadnya), maka baginya mendapat pahala atas ijtihadnya, sedangkan kesalahannya insya Alloh diampuni.” (Aqidatut Tauhid, wa Bayanu Maa Yudhoduha au Yanqushuha (hal. 145-146), karya Syaikh Al-Fauzan hafidzhohulloh, lihat jugaSyarh Ath-Thohawiyyah, hal. 363-364)
(3). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “Diantara kerusakan yang paling menonjol adalah : “Persamaan antara Al-Haq (kebenaran) dan Al-Bathil (kebatilan)….. dst.”
Ya, dalam pemilu tidak ada perbedaan antara al-haq dan al-bathil, semua sama menurut hawa nafsu mereka. Dan sungguh ini adalah kebathilan yang sangat nyata.
Padahal, Alloh Ta’ala menegaskan, tidak sama antara yang baik dan yang buruk itu, sebagaimana dalam firman-Nya :
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ……..(٣٤)
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan…” (QS Fushshilat : 34)
Juga tidak sama antara orang yang buta dengan orang yang melihat, tidak sama pula antara kegelapan dan cahaya yang terang benderang, sebagaimana dalam firman-Nya :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ
“Katakanlah: “Adakah sama orang yang buta dan orang yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang ?” (QS Ar-Ro’d : 16)
Tidak sama pula kedudukan antara orang yang beriman dengan orang-orang yang fasik (banyak berbuat durhaka/maksiat), Alloh tegaskan itu dalam firman-Nya :
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ (١٨)
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama.” (QS As-Sajdah : 18)
Juga tidak sama antara barang yang baik dengan barang yang jelek, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya :
قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠٠)
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah : 100)
Tidak sama pula antara kehidupan dan kematian :
وَمَا يَسْتَوِي الأحْيَاءُ وَلا الأمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)
“Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar (maksudnya adalah : Nabi Muhammad tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya, edt.).” (QS Fathir : 22 )
Dan yang terakhir, sungguh tidak sama pula antara orang yang berilmu dengan orang-orang yang bodoh, sebagaimana ditegaskan dalam firman Alloh Ta’ala :
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ (٩)
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az-Zumar : 9)
Cukuplah dalil-dalil ini sebagai peringatan keras bagi para pengagum dan pembela demokrasi dan pemilu. Bagaimana mungkin seorang muslim ikut-ikutan membenarkan persamaan antara al-haq dan al-bathil ? Sadarlah wahai saudaraku..!
(4). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “…. juga persamaan antara orang-orang yang berada di atas jalan yang benar dengan orang-orang yang berada di atas kebatilan, sesuai dengan jumlah (suara) terbanyak….”
Ya, dalam sistem demokrasi, suara terbanyak adalah kebenaran dan kemenangan, tidak peduli apakah suara terbanyak itu suaranya para bandit, penjilat, pezina atau suara orang yang baik. Yang penting banyak pendukungnya dan pengikutnya, itulah kebenaran. Adapun yang sedikit dan minoritas, itulah kebathilan.
Sungguh, prinsip dan pandangan hidup seperti ini sangat jauh dari tuntunan dan petunjuk agama Islam yang mulia. Bahkan ini adalah prinsip hidupnya orang-orang jahiliyyah dahulu. Alloh Ta’ala menjelaskan hal itu dalam banyak firman-Nya, diantaranya :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ (١١٦)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS Al-An’am : 116)
Hal itu karena mayoritas (kebanyakan) manusia itu jahil (bodoh), dan fasik (banyak bermaksiat kepada Alloh). Alloh Ta’ala tunjukkan hal itu dalam firman-Nya :
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (١٨٧)
“…. tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Al-A’rof : 187)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَمَا وَجَدْنَا لأكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ (١٠٢)
“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (QS Al-A’rof : 102)
Maka dari sini kita paham, bahwa yang dijadikan “ibroh” (pelajaran/ukuran kebenaran) bukanlah jumlah yang banyak, tetapi ibroh itu adalah kebenaran itu sendiri dan sikap hidup yang mencocoki kebenaran. Ya, apabila yang banyak itu mencocoki kebenaran, maka hal itu sangat bagus. Tetapi sunnatulloh(takdir/ketentuan Alloh) justru berlaku yang sebaliknya, yakni kebanyakan manusia ini senang di atas kebathilan.
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (١٠٣)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS Yusuf : 103)
Nah, wahai saudaraku kaum muslimin, jangan tertipu dengan jumlah yang banyak. Islam mengingatkan kita dari hal itu, sedangkan justru demokrasi mendorong orang untuk berjalan di atas suara mayoritas. Manakah yang benar ? Jelas jalan Islam adalah jalan kebenaran. Maka camkanlah ini !
(5). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “Di dalam pemilu juga terdapat penyia-nyiaan terhadap prinsip Al-Wala’ (loyalitas) dan Al-Baro’ (sikap berlepas diri), merobek atau mengoyak persatuan kaum muslimin, menebar permusuhan dan kebencian….. dst.”
Demikianlah kenyataannya, prinsip Al-Wala’ dan Al-Baro’ seorang muslim menjadi luntur akibat mengikuti “hawa nafsu” dan tuntutan demokrasi. Al-Wala’ (sikap loyalitas, kecintaan, pembelaan) yang seharusnya diberikan kepada sesama muslim yang sholih, berubah bisa diberikan kepada siapapun, meski kepada orang kafir ataupun fasik sekalipun, semuanya demi menghidupkan prinsip demokrasi. Demikian pula sikap Al-Baro’ (sikap berlepas diri, memberikan kebencian dan permusuhan), yang sepantasnya ditujukan kepada orang-orang kafir, fasiq maupun ahlul bid’ah, berubah menjadi mencintai dan membela mereka, demi alasan dan tuntutan demokrasi.
Padahal Alloh Ta’ala berfirman tentang keteladanan yang dicontohkan oleh Nabiyulloh Ibrohim ‘alaihis salam dalam masalah Al-Wala’ dan Al-Baro’ ini :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ لأسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (٤)
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka (yang musyrik/kafir) : “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya, sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya : “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS Al-Mumtahanah : 4)
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga mencontohkan tentang prinsip Al-Wala’ dan Al-Baro’, seperti yang disebutkan dalam firman Alloh Ta’ala :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (٢٩)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud (yakni pada air muka mereka kelihatan keimanan dan kesucian hati mereka, edt.). Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Fath : 29)
Juga sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Alloh Ta’ala :
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْإِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٢٢)
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya, dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka Itulah Hizbulloh (golongan Allah). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadilah : 22)
Inilah prinsip Al-Wala’ dan Al-Baro’ yang dibimbing oleh syari’at Islam yang mulia. Tetapi di hadapan demokrasi dan pemilu, semuanya bisa dilunturkan atau bahkan dilumatkan, karena tidak sesuai dengan “semangat” demokrasi. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi roji’un.
(6). Perkataan Syaikh hafidzhohulloh : “……. dan juga Tahazzub (bergolong-golongan/berkelompok) dan Ta’asshub (sikap fanatik pada golongan/kelompok tertentu) di antara mereka. (Di dalamnya juga terdapat) Al-Ghisy (tipu daya), Al-Khida’ (tipu muslihat), Al-Ihtiyaal (siasat licik), Az-Zuur (kedustaan), menyia-nyiakan waktu dan harta benda, dan juga menyia-nyiakan rasa malu/kehormatan para wanita, serta mengguncangkan kekokohan ilmu syari’at Islam dan para pelakunya (ulama dan para penuntut ilmu, edt.).”
Allohul Musta’an…., inilah musibah atau bencana demokrasi. Diantaranya adalah pengagungan terhadap Hizbiyyah (bergolongan-golongan, kelompok atau partai), diiringi dengan sikap ta’asshub (fanatik atau sikap membabi buta dalam melakukan pembelaan dan kecintaan, tanpa memperhatikan benar ataupun salah menurut tuntunan agama yang haq ini)
Padahal dalam prinsip-prinsip agama Islam yang haq ini, justru Alloh Ta’ala memerintahkan kita untuk menyelisihi jalan mereka (orang-orang yang fanatik terhadap hizb mereka). Alloh Ta’ala berfirman :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٥٣)
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS Al-An’am : 153)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٣١)مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (٣٢)
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka ( yakni dengan meninggalkan agama tauhid dan menganut berbagai kepercayaan menurut hawa nafsu mereka, edt.), dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS Ar-Ruum : 31-32)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (١٠٥)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS Ali Imron : 105)
Disamping itu, Alloh juga melarang kita dari berpecah belah, sebagaimana dalam firman-Nya :
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ……..(١٣)
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: “Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya….” (QS As-Syuro : 13)
Alloh Ta’ala juga berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٠٣)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; padahal kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali Imron : 103)
Perhatikanlah dengan seksama wahai saudaraku, demokrasi dan pestanya itu (yakni pemilu), sungguh sangat jauh dari jalan Islam. Bahkan sangat jelas dan terang-terangan bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam yang lurus ini. Islam mengajak kita di suatu jalan yang jelas lurusnya tanpa ada kebengkokan sedikitpun, sementara itu demokrasi mengajak kepada kesesatan dan kebinasaan, meski menurut para pengagumnya demokrasi adalah cara terbaik dalam berbangsa dan bernegara.
Maka dari penjelasan dan jawaban ringkas dari guru kami, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh tersebut di atas, ditambah sedikit keterangan yang kami sampaikan, semoga menjadi jelas bagi kita, bagaimana sesungguhnya hakekat demokrasi dan pemilu itu.
Maka bagi orang-orang yang menginginkan keselamatan agamanya, sudah tentu akan menjauhi prinsip-prinsip demokrasi dengan segala perangkatnya, termasuk pemilu. Semoga uraian yang sederhana ini bermanfaat bagi penulisnya, dan juga bagi saudara-saudara kami seluruh kaum muslimin dimana saja.
Wallohu a’lam bis showab !
(Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar